Mengenang Ko Andri (Li Ciang She/Penceramah Li)
Li Ciang She (Ko Andri) ketika bersembahyang untuk PPJ Sekolah Dasar di Prumpung, Gunung Sindur |
Singkat cerita,
kami sangat akrab sekali. Di mana ada aku, di situ pasti ada ko Andri. Can Ayi,
mamanya ko Andri sendiri sampai mengejek kami berdua pacaran. Tentu hati kecil tidak
begitu menerima kata “pacaran” itu sendiri karena kami berdua sama-sama
laki-laki dan juga aku masih terlalu kecil untuk berpacaran. Tapi ko Andri
terus menjagaku dan melindungiku sepanjang masa kecil ku di Guang Sheng Fo
Tang.
Suatu saat,
terjadi sebuah musibah di dunia. Ada sebuah virus bernama SARS yang merajalela
di dunia dan membuat satu dunia simpang siur (mirip seperti Covid19 lebih parah
dari Covid19). Gejalanya pun sama dengan Covid 19, batuk-pilek, radang
tenggorokan, dan lama-lama bisa merenggang nyawa. Saat itu teknologi pengobatan
juga tidak semaju sekarang. Tahun-tahun awal milenium sangat mengerikan. Ada berita
matahari hampir meledak dan kemudian dihadapkan virus SARS.
Oleh karena
banyaknya bencana penyakit, akhirnya Qian Ren kami (Lien Che Phu Sa) menginstruksikan
Guang Ji Dao Chang di seluruh dunia, untuk sama-sama berkumpul di Fo Tang untuk
membaca paritta Mi Le Zhen Jing sebanyak 108 kali. Hal ini dilakukan seminggu
dua kali (jadi sekali pertemuan, membaca Mi Le Zhen Jing langsung 108 kali)
hampir selama setahun.
Aku dan Ko
Andri selalu bersama berlutut bersebelah-sebelahan membaca Mi Le Zhen Jing
selama 108 kali. Sepanjang Nien Cing, Ko Andri terus mendukung ku untuk terus
bersemangat membaca Mi Le Zhen Jing. Semua umat senior yang lain saling
menguatkan dan saling mendukung untuk terus membaca Mi Le Zhen Jing sambil
berlutut. Kami semua bersatu padu membaca Mi Le Zhen Jing dengan suara yang
sangat lantang membaca Mi Le Zhen Jing. Memohon kepada Lao Mu Che Pei agar
memutar roda karma dunia. Berkat ketulusan umat-umat dalam membaca Paritta,
bencana besar menjadi bencana kecil, bencana kecil menjadi tiada. Sungguh bersyukur
kepada Yang Maha Kuasa, virus SARS tidak sempat menular ke mana-mana dan dapat
teratasi dengan baik.
Kembali ke
kisah ku dan Ko Andri. Hal yang paling kuingat saat kecil adalah selama ini aku
tidak pernah berani naik motor dibonceng orang lain selain familiku. Tapi di
saat itu ko Andri mengajakku naik motor pergi membeli jus buah kode dan mentraktir
ku Jus Kode. Aku sangat takut, tapi ko Andri menjamin keselamatanku. Sepanjang
perjalanan aku sangat takut, ketika melewati rel kereta api sungguh sangat menegangkan.
Saat itu merupakan saat yang paling berkesan di dalam hidupku.
Sekitar dua
tahun berikutnya, Ko Andri menghilang
dari hadapanku. Hal yang paling kuingat saat itu, ia tidak memberitahuku secara
pribadi ke mana ia pergi. Aku terus mencarinya setiap minggu. Banyak cerita
yang ia ceritakan kepadaku dan kami tidak pernah menutupi apa-apa dalam cerita
kami. Tapi saat itu tiba-tiba saja ia hilang dan ketika kudengar dari orang
tuaku, beliau pergi ke India untuk Khai Fang (membuka ladang menyebarkan Tao di
India). Padahal setahu ku saat itu Ko Andri sedang kuliah di Binus semester
lima. Aku sangat sedih dan kecewa, mengapa Ko Andri tidak pamit padaku. Yah kemarahan
itulah yang akhirnya membuatku tidak respek pada ko Andri saat pertama kali dia
kembali dari India ke Indonesia.
Bertahun-tahun
kemudian. Mungkin kurang lebih ko Andri pergi ke India sekitar 10 tahun. Tidak tahu
tahun berapa dia kembali dari India ke Indonesia, aku sudah jarang ke Fo Tang
(saat itu aku sudah remaja sehingga lebih senang mencari kesenangan di luar dan
menganggap belajar agama sangat kuno). Saat di tahun 2014, aku kembali ke Fo
Tang. Maksudku adalah untuk mengabdikan diri pada kegiatan Yayasan Guang JiIndonesia (saat itu aku telah kuliah) dan karena ibuku aktif di Fo Tang dan
juga aku adalah anak dari Than Cu senior, aku boleh ikrar vegetarian oleh
Pandita Lin.
Sedikit berkisah,
saat aku hendak berikrar Ching Khou, seminggu sebelumnya aku masuk rumah sakit
di ruang ICU selama 10 hari karena tipes dan demam berdarah. Trombosit ku drop
hingga ke angka empat puluh. Adalah ujian yang hampir merenggut nyawa ku hanya
karena aku hendak Ching Khou. Di suatu malam di ICU aku bermimpi, aku melihat
sekelompok orang berjubah putih berkumpul di tempat yang agak jauh dari
ranjangku. Sekitar ranjangku dan diriku semua berwarna gelap, hanya sekelompok
berjubah putih itu yang Cahaya nya putih dan terang. Aku terbangun, saat itu
jam setengah dua malam. Aku merasa tubuhku sangat Lelah dan kemudian tertidur
lagi.
Ketika ku
ceritakan kepada ibu ku, katanya mungkin saja itu leluhurku. Meskipun ada
kejanggalan, karena sekelompok orang berjubah putih tersebut tidak nampak wajahnya
dan jumlahnya sangat banyak.
Malam selanjutnya,
di tengah keputus-asaan ku karena aku berada di ICU selama sepuluh hari. Aku hampir
kehilangan Cahaya harapan ku. Aku kembali bermimpi, tiba-tiba aku memakai jubah
putih duduk di batu granit, sambil berada di suasana musim gugur. Hanya saja
kalau kamu mengatakan itu adalah musim gugur di China aku merasa, aku lebih merasakan
musim gugur di Barat. Aku melihat daun maple berguguran begitu banyak. Aku berada
di tengah hutan musim gugur, kalau kata hatiku saat itu aku sedang berada di Nan
Phing Shan. Dan saat itu aku sedang melihat diriku yang tidak gendut memakai Jubah
Putih sedang duduk di atas batu. Aku sangat menikmati suasana saat itu. Aku melihat
diriku yang sempurna dan merasa sangat puas. Dan kemudian aku terbangun, hari
sudah pagi.
Setelah berikrar
Ching Khou, ujian silih berganti. Aku tidak ingin bilang kesialan yang terjadi
di dalam hidupku adalah ujian, tapi itu terasa seperti itu.
Akhir kata,
aku berhasil Ching Khou. Tapi kehidupan pribadiku hancur total. Aku didiagnosa
Skizofrenia oleh dokter dan tidak berhasil meluluskan kuliah di semester lima. Dan
sejak saat itulah peran Fo Tang dan ko Andri semakin besar di hidupku.
Tahun 2015
aku berjuang melawan penderitaanku atas efek samping dari obat Ambilify. Hampir
setiap bulan ibuku harus menyetor satu juta rupiah ke agen obat Ambilify untuk
diriku. Aku tidak kuat menahan efek sampingnya, akibat yang kuterima adalah
semua tubuhku sangat kaku. Aku tidak sanggup berpikir seperti dulu. Tubuhku seperti
robot dan sangat kaku. Sangat tidak enak dan sangat tidak leluasa. Akhirnya aku
meminta ibuku menghentikan pengobatan itu. Dan menggantinya dengan pergi ke
dokter psikiatri yang lain. Tapi tetap saja tidak memberi perkembangan berarti.
Sampai akhirnya, aku kembali ke dokter keluarga ku dan beliau memberiku resep
obat penenang sebanyak 3 tablet dan itu membuatku lebih baik hingga saat ini.
Selama sepuluh
tahun ini, aku terus berjuang untuk mengalahkan kekacauan pikiran ku dan pergi
ke Fo Tang. Walaupun sempat ada perasaan ingin menyalahkan, tapi aku tidak
berani menyalahkan Fo Tang. Entah sejak kapan, aku mulai merasa Fo Tang lebih
dari sekedar Yayasan. Mungkin iya, awalnya kembali ke Fo Tang adalah untuk
bekerja di Yayasan Guang Ji Indonesia sebagai volunteer. Tapi setelah mengikuti
banyak kelas reguler di dalam Fo Tang, akhirnya aku menyadari, bahwa inilah
jalan pembinaan diri yang sesungguhnya.
Aku pernah
mendapat sebuah wejangan, yang kurang lebih isinya; lima tahun membina perjalanan
hidup akan lebih baik, bunga bermekaran pada tahun ke-sepuluh. Aku sangat
mempercayai dan yakin akan wejangan tersebut. Tapi di tahun ke-lima kembali ke
Fo Tang masih saja ada ujian. Diperparah lagi saat tahun ke-lima malah virus
Covid 19 menyebar dan ayahku dan nenekku pergi dengan cara yang tidak wajar. Jujur
aku melalui lima tahun berikutnya sangat sulit. Aku sering menangis karena difitnah,
diasingkan oleh teman-teman, dan sulit berbaur dengan orang yang lebih muda
dariku. Aku sangat menderita, tapi belajar banyak dari kisah orang-orang Suci
jaman dahulu. Mereka banyak dianiaya orang yang tidak mengerti, tapi mereka
masih mengampuni dan bertahan pada hakekat kebenaran. Aku terus berdoa pada
Yang Maha Kuasa dan Para Buddha-Para Suci, agar memberiku kekuatan dan akal
sehat agar aku terus bertahan untuk hidup.
Di tahun
2017, adalah awal perbaikkan hidupku (tadinya aku kira begitu). Aku kembali
masuk kuliah. Kali ini aku masuk kuliah jurusan Pendidikan Guru Mandari. Tapi lagi-lagi,
salah waham membuatku berpikir ini masih di tahun 1998. Saat di mana Indonesia
masih anti China. Aku tidak pernah berani mengatakan pada supir Grab atau pun
Gojek aku pergi ke Fo Tang atau pergi ke kampus untuk belajar menjadi Guru Pendidikan
Mandarin. Aku masih agak trauma dengan kejadian yang menimpa Pak Ahok. Aku sungguh
merasa ketakutan hidup di Indonesia saat itu. Sehingga aku pun berkuliah hingga
dua kali mengulang semester satu dan tetap saja tidak lulus.
Aku yang
sial dalam kehidupan duniawi, akhirnya lebih serius menjalani kehidupan Rohani.
Di dalam pengabdianku, di Guang Sheng Fo Tang, aku mengalami perkembangan
secara kemanusiaan. Aku jadi lebih berinisiatif untuk bersosialisasi dan hidup
untuk mencurahkan perhatianku pada sesama umat manusia. Dan di kehidupan
rohaniku tak butuh waktu lama, aku mendapatkan saudara-saudara yang “seiya-sekata”.
Ada Herry Thong, ada Marco dan yang paling ku ingat ada Ko Wawan yang juga
sangat menyukai kehadiranku.
Aku sangat bahagia
ketika mendengarkan kelas di hari Rabu, di malam hari. Aku yang saat itu mulai
memberanikan naik motor setiap kali ke Fo Tang. Menikmati udara malam hari
sambil naik motor. Walaupun pada awalnya aku naik taksi sembari menemani ibuku
pergi menjadi pembawa acara di kelas regular Phei Te Pan. Di saat itulah peran
ko Andri kembali besar di dalam hidupku di tahun 2017 hingga tahun 2019.
Kalau boleh
dikisahkan sedikit, Ko Andri sebelum masuk Fo Thang adalah seorang preman yang
kecanduan obat-obatan terlarang. Kehidupannya sangat dekat dengan kematian, ia
bahkan pernah sakau ketika menikmati obat-obat terlarang tersebut. Hal yang
paling janggal pun terjadi ketika ia baru awal masuk Fo Tang. Aku melihat
beliau menyimpan gelas yang biasa ia minum di kotak obat. Awalnya aku bingung,
tapi setelah dewasa aku baru tahu, bahwa ternyata itu adalah caranya untuk
melepaskan kecanduannya dan berusaha hanya untuk menghirup bau obat-obatan saja. Ia sudah
kecanduan aroma obat-obatan meski pun itu obat-obatan biasa. Tetapi semua
berubah ketika ia kembali dari India, semua itu sudah tidak dilakukan lagi.
Di tahun 2017, Ko Andri ada di Guang Sheng Fo Tang dan diangkat menjadi pembawa acara dan juga seorang Penceramah (Ciang She) di kelas Phei Te Pan. Di saat bersamaan juga aku juga izin kepada Pandita Lin untuk loncat kelas dari kelas Ming Te Pan ke kelas Phei Te Pan dengan alasan kuliah dan harus mengerjakan PR pada akhir minggu. Aku bisa menyimpulkan diriku adalah anak yang rajin ikut kelas. Di masa awal, ibuku adalah pembawa acara sehingga saat ibuku pergi, aku pun juga bisa ikut pergi karena ibuku naik Taksi Bluebird atau Grab Car di pinggir jalan. Kalau dipikir sangat sayang ‘kan kalau ibuku sendirian pergi naik Grab Car atau Taksi? Hehe…
Awalnya ketika
pulang dari kelas Phei Te Pan, aku dan ibuku dijemput oleh ayahku. Namun karena
ayahku yang semakin tua dan mulai tidak leluasa menyetir malam hari, akhirnya
terkadang aku menumpang mobil Wu Susuk (mobil ayah dari Ci Sally) atau
terkadang menumpang mobil Ko Andri. Jujur, saat ibuku izin tidak ke kelas (ada
urusan) dan aku pulang dengan Ko Andri sendirian dan ko Andri banyak bercerita
dan berencana dengan ku.
Saat itu Ko
Andri sangat bersemangat untuk membuka restoran vegetarian. Ia ingin bekerja
sama dengan ku dengan cara, penanam modalnya adalah dia dan aku yang mengurus
segala restorannya. Ia sering mendukungku masak vegetarian dan mengeksplor
berbagai menu vegetarian. Saat itu aku sering belajar masak vegetarian sembari
berbagi dengan umat-umat di Fo Thang terutama di kelas hari Rabu dan Che It-Cap
Go. Banyak sekali umat yang suka dengan masakkan ku tak terkecuali Ko Andri
yang selalu memuji masakkan ku.
Aku sangat bahagia
di tahun-tahun 2017 hingga 2019. Hingga aku akhirnya mengerti, apa makna dari
melepaskan dan sadar betul bahwa tidak ada hal yang bersifat abadi di dunia ini
Di tahun
2019, adalah akhir dari segala Impian Ko Andri. Ko Andri mungkin hanya makan
tempe dan dua potong tahu goreng dan kemudian pulang dari Restoran Follow MeVegetarian dan tidak akan pernah kembali selamanya. Yah, benar beliau telah
pulang, tetapi pulang dalam arti kata pulang ke pangkuan Ibunda Suci selamanya
karena gagal jantung.
Sebenarnya,
ibuku sudah punya firasat dari berbulan-bulan yang lalu. Ko Andri selalu batuk,
tangannya selalu keringatan. Ginjal beliau juga baru menjalani operasi pengangkatan
batu ginjal. Saat itu, ibuku ada berkata kepada beliau agar beliau sekalian
memeriksakan semua Kesehatan tubuhnya. Tapi beliau hanya fokus pada batu ginjal
beliau dan hanya menganggap ucapan ibuku angin lalu.
Aku sangat
sedih dan tidak terima. Rasanya aku dan beliau masih bermimpi dan berikrar membantu
orang lain untuk bervegetarian. Tapi belum sempat terlaksana, beliau telah
dipanggil Yang Maha Kuasa terlebih dahulu. Aku sangat sedih saat melihat beliau
di peti sambil berkata dalam hatiku. “Ko, kenapa koko tidur di sini? Koko nggak
boleh tidur di sini!”
Beliau meninggalkan
seorang ibu yang sebatang kara yang sangat tidak rela dengan kepergiannya. Ini terlalu
mendadak, di siang hari yang panas bertepatan dengan Kwan Im Se Jit beliau pergi terlebih dahulu menghadap Ibunda Suci.
Pernah baru-baru
ini, aku menangis tersiksa menyesali kepergian Ko Andri. Mengingat dirinya dan
berangan-angan Ko Andri kembali agar aku dan ko Andri dapat membuka restoran
vegetarian untuk mempermudah orang-orang bervegetarian. Dan ternyata itu
mengganggu ko Andri. Waktu itu siang hari, ibuku pergi tidur siang dan langsung
bermimpi. Ko Andri duduk di depan dua kios tertutup sambil menangis dan murung.
Saat ibuku menceritakan hal itu, aku tersadar; aku tidak boleh merepotkan dan
mengganggu peristirahatan beliau. Aku telah salah. Oleh karena itu, ketika kita
mengenang kembali orang yang berarti dalam hidup kita, itu bukan hanya kita
yang bersedih. Tetapi juga orang yang kita kenang juga ikut bersedih.