Mengenang Ko Andri (Li Ciang She/Penceramah Li)

 
Li Ciang She (Ko Andri) ketika bersembahyang untuk PPJ Sekolah Dasar di Prumpung, Gunung Sindur

Awal pertemuan ku dengan ko Andri. Hari itu adalah hari Minggu di tahun 2001-an, aku masih sekitar enam tahun. Seperti biasa, aku mengikuti Sekolah Minggu (Du Jing Ban) anak-anak di Guang Sheng Fo Tang. Saat kelas selesai, aku bertemu seseorang yang tidak pernah aku lihat dalam hidupku selama enam tahun. Orang itu menyapaku dengan sangat akrab. Orang itu adalah Ko Andri Jaya Budiman (Andri JB).


Ko Andri sangat baik padaku. Setiap hari Minggu pergi ke Fo Tang, selalu bertemu dengan dirinya. Ia selalu menjadi teman bercerita ku dan kami selalu main bersama di kala ibu dan ayahku pergi ke Cetya Kampung Melayu (sekarang telah menjadi GuangMiao Fo Tang) di Teluk Naga, Tangerang.

Singkat cerita, kami sangat akrab sekali. Di mana ada aku, di situ pasti ada ko Andri. Can Ayi, mamanya ko Andri sendiri sampai mengejek kami berdua pacaran. Tentu hati kecil tidak begitu menerima kata “pacaran” itu sendiri karena kami berdua sama-sama laki-laki dan juga aku masih terlalu kecil untuk berpacaran. Tapi ko Andri terus menjagaku dan melindungiku sepanjang masa kecil ku di Guang Sheng Fo Tang.

Suatu saat, terjadi sebuah musibah di dunia. Ada sebuah virus bernama SARS yang merajalela di dunia dan membuat satu dunia simpang siur (mirip seperti Covid19 lebih parah dari Covid19). Gejalanya pun sama dengan Covid 19, batuk-pilek, radang tenggorokan, dan lama-lama bisa merenggang nyawa. Saat itu teknologi pengobatan juga tidak semaju sekarang. Tahun-tahun awal milenium sangat mengerikan. Ada berita matahari hampir meledak dan kemudian dihadapkan virus SARS.

Oleh karena banyaknya bencana penyakit, akhirnya Qian Ren kami (Lien Che Phu Sa) menginstruksikan Guang Ji Dao Chang di seluruh dunia, untuk sama-sama berkumpul di Fo Tang untuk membaca paritta Mi Le Zhen Jing sebanyak 108 kali. Hal ini dilakukan seminggu dua kali (jadi sekali pertemuan, membaca Mi Le Zhen Jing langsung 108 kali) hampir selama setahun.

Aku dan Ko Andri selalu bersama berlutut bersebelah-sebelahan membaca Mi Le Zhen Jing selama 108 kali. Sepanjang Nien Cing, Ko Andri terus mendukung ku untuk terus bersemangat membaca Mi Le Zhen Jing. Semua umat senior yang lain saling menguatkan dan saling mendukung untuk terus membaca Mi Le Zhen Jing sambil berlutut. Kami semua bersatu padu membaca Mi Le Zhen Jing dengan suara yang sangat lantang membaca Mi Le Zhen Jing. Memohon kepada Lao Mu Che Pei agar memutar roda karma dunia. Berkat ketulusan umat-umat dalam membaca Paritta, bencana besar menjadi bencana kecil, bencana kecil menjadi tiada. Sungguh bersyukur kepada Yang Maha Kuasa, virus SARS tidak sempat menular ke mana-mana dan dapat teratasi dengan baik.

Kembali ke kisah ku dan Ko Andri. Hal yang paling kuingat saat kecil adalah selama ini aku tidak pernah berani naik motor dibonceng orang lain selain familiku. Tapi di saat itu ko Andri mengajakku naik motor pergi membeli jus buah kode dan mentraktir ku Jus Kode. Aku sangat takut, tapi ko Andri menjamin keselamatanku. Sepanjang perjalanan aku sangat takut, ketika melewati rel kereta api sungguh sangat menegangkan. Saat itu merupakan saat yang paling berkesan di dalam hidupku.

Sekitar dua tahun berikutnya, Ko  Andri menghilang dari hadapanku. Hal yang paling kuingat saat itu, ia tidak memberitahuku secara pribadi ke mana ia pergi. Aku terus mencarinya setiap minggu. Banyak cerita yang ia ceritakan kepadaku dan kami tidak pernah menutupi apa-apa dalam cerita kami. Tapi saat itu tiba-tiba saja ia hilang dan ketika kudengar dari orang tuaku, beliau pergi ke India untuk Khai Fang (membuka ladang menyebarkan Tao di India). Padahal setahu ku saat itu Ko Andri sedang kuliah di Binus semester lima. Aku sangat sedih dan kecewa, mengapa Ko Andri tidak pamit padaku. Yah kemarahan itulah yang akhirnya membuatku tidak respek pada ko Andri saat pertama kali dia kembali dari India ke Indonesia.

Bertahun-tahun kemudian. Mungkin kurang lebih ko Andri pergi ke India sekitar 10 tahun. Tidak tahu tahun berapa dia kembali dari India ke Indonesia, aku sudah jarang ke Fo Tang (saat itu aku sudah remaja sehingga lebih senang mencari kesenangan di luar dan menganggap belajar agama sangat kuno). Saat di tahun 2014, aku kembali ke Fo Tang. Maksudku adalah untuk mengabdikan diri pada kegiatan Yayasan Guang JiIndonesia (saat itu aku telah kuliah) dan karena ibuku aktif di Fo Tang dan juga aku adalah anak dari Than Cu senior, aku boleh ikrar vegetarian oleh Pandita Lin.

Sedikit berkisah, saat aku hendak berikrar Ching Khou, seminggu sebelumnya aku masuk rumah sakit di ruang ICU selama 10 hari karena tipes dan demam berdarah. Trombosit ku drop hingga ke angka empat puluh. Adalah ujian yang hampir merenggut nyawa ku hanya karena aku hendak Ching Khou. Di suatu malam di ICU aku bermimpi, aku melihat sekelompok orang berjubah putih berkumpul di tempat yang agak jauh dari ranjangku. Sekitar ranjangku dan diriku semua berwarna gelap, hanya sekelompok berjubah putih itu yang Cahaya nya putih dan terang. Aku terbangun, saat itu jam setengah dua malam. Aku merasa tubuhku sangat Lelah dan kemudian tertidur lagi.

Ketika ku ceritakan kepada ibu ku, katanya mungkin saja itu leluhurku. Meskipun ada kejanggalan, karena sekelompok orang berjubah putih tersebut tidak nampak wajahnya dan jumlahnya sangat banyak.

Malam selanjutnya, di tengah keputus-asaan ku karena aku berada di ICU selama sepuluh hari. Aku hampir kehilangan Cahaya harapan ku. Aku kembali bermimpi, tiba-tiba aku memakai jubah putih duduk di batu granit, sambil berada di suasana musim gugur. Hanya saja kalau kamu mengatakan itu adalah musim gugur di China aku merasa, aku lebih merasakan musim gugur di Barat. Aku melihat daun maple berguguran begitu banyak. Aku berada di tengah hutan musim gugur, kalau kata hatiku saat itu aku sedang berada di Nan Phing Shan. Dan saat itu aku sedang melihat diriku yang tidak gendut memakai Jubah Putih sedang duduk di atas batu. Aku sangat menikmati suasana saat itu. Aku melihat diriku yang sempurna dan merasa sangat puas. Dan kemudian aku terbangun, hari sudah pagi.

Setelah berikrar Ching Khou, ujian silih berganti. Aku tidak ingin bilang kesialan yang terjadi di dalam hidupku adalah ujian, tapi itu terasa seperti itu.

Akhir kata, aku berhasil Ching Khou. Tapi kehidupan pribadiku hancur total. Aku didiagnosa Skizofrenia oleh dokter dan tidak berhasil meluluskan kuliah di semester lima. Dan sejak saat itulah peran Fo Tang dan ko Andri semakin besar di hidupku.

Tahun 2015 aku berjuang melawan penderitaanku atas efek samping dari obat Ambilify. Hampir setiap bulan ibuku harus menyetor satu juta rupiah ke agen obat Ambilify untuk diriku. Aku tidak kuat menahan efek sampingnya, akibat yang kuterima adalah semua tubuhku sangat kaku. Aku tidak sanggup berpikir seperti dulu. Tubuhku seperti robot dan sangat kaku. Sangat tidak enak dan sangat tidak leluasa. Akhirnya aku meminta ibuku menghentikan pengobatan itu. Dan menggantinya dengan pergi ke dokter psikiatri yang lain. Tapi tetap saja tidak memberi perkembangan berarti. Sampai akhirnya, aku kembali ke dokter keluarga ku dan beliau memberiku resep obat penenang sebanyak 3 tablet dan itu membuatku lebih baik hingga saat ini.

Selama sepuluh tahun ini, aku terus berjuang untuk mengalahkan kekacauan pikiran ku dan pergi ke Fo Tang. Walaupun sempat ada perasaan ingin menyalahkan, tapi aku tidak berani menyalahkan Fo Tang. Entah sejak kapan, aku mulai merasa Fo Tang lebih dari sekedar Yayasan. Mungkin iya, awalnya kembali ke Fo Tang adalah untuk bekerja di Yayasan Guang Ji Indonesia sebagai volunteer. Tapi setelah mengikuti banyak kelas reguler di dalam Fo Tang, akhirnya aku menyadari, bahwa inilah jalan pembinaan diri yang sesungguhnya.

Aku pernah mendapat sebuah wejangan, yang kurang lebih isinya; lima tahun membina perjalanan hidup akan lebih baik, bunga bermekaran pada tahun ke-sepuluh. Aku sangat mempercayai dan yakin akan wejangan tersebut. Tapi di tahun ke-lima kembali ke Fo Tang masih saja ada ujian. Diperparah lagi saat tahun ke-lima malah virus Covid 19 menyebar dan ayahku dan nenekku pergi dengan cara yang tidak wajar. Jujur aku melalui lima tahun berikutnya sangat sulit. Aku sering menangis karena difitnah, diasingkan oleh teman-teman, dan sulit berbaur dengan orang yang lebih muda dariku. Aku sangat menderita, tapi belajar banyak dari kisah orang-orang Suci jaman dahulu. Mereka banyak dianiaya orang yang tidak mengerti, tapi mereka masih mengampuni dan bertahan pada hakekat kebenaran. Aku terus berdoa pada Yang Maha Kuasa dan Para Buddha-Para Suci, agar memberiku kekuatan dan akal sehat agar aku terus bertahan untuk hidup.

Di tahun 2017, adalah awal perbaikkan hidupku (tadinya aku kira begitu). Aku kembali masuk kuliah. Kali ini aku masuk kuliah jurusan Pendidikan Guru Mandari. Tapi lagi-lagi, salah waham membuatku berpikir ini masih di tahun 1998. Saat di mana Indonesia masih anti China. Aku tidak pernah berani mengatakan pada supir Grab atau pun Gojek aku pergi ke Fo Tang atau pergi ke kampus untuk belajar menjadi Guru Pendidikan Mandarin. Aku masih agak trauma dengan kejadian yang menimpa Pak Ahok. Aku sungguh merasa ketakutan hidup di Indonesia saat itu. Sehingga aku pun berkuliah hingga dua kali mengulang semester satu dan tetap saja tidak lulus.

Aku yang sial dalam kehidupan duniawi, akhirnya lebih serius menjalani kehidupan Rohani. Di dalam pengabdianku, di Guang Sheng Fo Tang, aku mengalami perkembangan secara kemanusiaan. Aku jadi lebih berinisiatif untuk bersosialisasi dan hidup untuk mencurahkan perhatianku pada sesama umat manusia. Dan di kehidupan rohaniku tak butuh waktu lama, aku mendapatkan saudara-saudara yang “seiya-sekata”. Ada Herry Thong, ada Marco dan yang paling ku ingat ada Ko Wawan yang juga sangat menyukai kehadiranku.

Aku sangat bahagia ketika mendengarkan kelas di hari Rabu, di malam hari. Aku yang saat itu mulai memberanikan naik motor setiap kali ke Fo Tang. Menikmati udara malam hari sambil naik motor. Walaupun pada awalnya aku naik taksi sembari menemani ibuku pergi menjadi pembawa acara di kelas regular Phei Te Pan. Di saat itulah peran ko Andri kembali besar di dalam hidupku di tahun 2017 hingga tahun 2019.

Kalau boleh dikisahkan sedikit, Ko Andri sebelum masuk Fo Thang adalah seorang preman yang kecanduan obat-obatan terlarang. Kehidupannya sangat dekat dengan kematian, ia bahkan pernah sakau ketika menikmati obat-obat terlarang tersebut. Hal yang paling janggal pun terjadi ketika ia baru awal masuk Fo Tang. Aku melihat beliau menyimpan gelas yang biasa ia minum di kotak obat. Awalnya aku bingung, tapi setelah dewasa aku baru tahu, bahwa ternyata itu adalah caranya untuk melepaskan kecanduannya dan berusaha hanya  untuk menghirup bau obat-obatan saja. Ia sudah kecanduan aroma obat-obatan meski pun itu obat-obatan biasa. Tetapi semua berubah ketika ia kembali dari India, semua itu sudah tidak dilakukan lagi.

Di tahun 2017, Ko Andri ada di Guang Sheng Fo Tang dan diangkat menjadi pembawa acara dan juga seorang Penceramah (Ciang She) di kelas Phei Te Pan. Di saat bersamaan juga aku juga izin kepada Pandita Lin untuk loncat kelas dari kelas Ming Te Pan ke kelas Phei Te Pan dengan alasan kuliah dan harus mengerjakan PR pada akhir minggu. Aku bisa menyimpulkan diriku adalah anak yang rajin ikut kelas. Di masa awal, ibuku adalah pembawa acara sehingga saat ibuku pergi, aku pun juga bisa ikut pergi karena ibuku naik Taksi Bluebird atau Grab Car di pinggir jalan. Kalau dipikir sangat sayang ‘kan kalau ibuku sendirian pergi naik Grab Car atau Taksi? Hehe…

Awalnya ketika pulang dari kelas Phei Te Pan, aku dan ibuku dijemput oleh ayahku. Namun karena ayahku yang semakin tua dan mulai tidak leluasa menyetir malam hari, akhirnya terkadang aku menumpang mobil Wu Susuk (mobil ayah dari Ci Sally) atau terkadang menumpang mobil Ko Andri. Jujur, saat ibuku izin tidak ke kelas (ada urusan) dan aku pulang dengan Ko Andri sendirian dan ko Andri banyak bercerita dan berencana dengan ku.

Saat itu Ko Andri sangat bersemangat untuk membuka restoran vegetarian. Ia ingin bekerja sama dengan ku dengan cara, penanam modalnya adalah dia dan aku yang mengurus segala restorannya. Ia sering mendukungku masak vegetarian dan mengeksplor berbagai menu vegetarian. Saat itu aku sering belajar masak vegetarian sembari berbagi dengan umat-umat di Fo Thang terutama di kelas hari Rabu dan Che It-Cap Go. Banyak sekali umat yang suka dengan masakkan ku tak terkecuali Ko Andri yang selalu memuji masakkan ku.

Aku sangat bahagia di tahun-tahun 2017 hingga 2019. Hingga aku akhirnya mengerti, apa makna dari melepaskan dan sadar betul bahwa tidak ada hal yang bersifat abadi di dunia ini

Di tahun 2019, adalah akhir dari segala Impian Ko Andri. Ko Andri mungkin hanya makan tempe dan dua potong tahu goreng dan kemudian pulang dari Restoran Follow MeVegetarian dan tidak akan pernah kembali selamanya. Yah, benar beliau telah pulang, tetapi pulang dalam arti kata pulang ke pangkuan Ibunda Suci selamanya karena gagal jantung.

Sebenarnya, ibuku sudah punya firasat dari berbulan-bulan yang lalu. Ko Andri selalu batuk, tangannya selalu keringatan. Ginjal beliau juga baru menjalani operasi pengangkatan batu ginjal. Saat itu, ibuku ada berkata kepada beliau agar beliau sekalian memeriksakan semua Kesehatan tubuhnya. Tapi beliau hanya fokus pada batu ginjal beliau dan hanya menganggap ucapan ibuku angin lalu.

Aku sangat sedih dan tidak terima. Rasanya aku dan beliau masih bermimpi dan berikrar membantu orang lain untuk bervegetarian. Tapi belum sempat terlaksana, beliau telah dipanggil Yang Maha Kuasa terlebih dahulu. Aku sangat sedih saat melihat beliau di peti sambil berkata dalam hatiku. “Ko, kenapa koko tidur di sini? Koko nggak boleh tidur di sini!”

Beliau meninggalkan seorang ibu yang sebatang kara yang sangat tidak rela dengan kepergiannya. Ini terlalu mendadak, di siang hari yang panas bertepatan dengan Kwan Im Se Jit beliau pergi terlebih dahulu menghadap Ibunda Suci.

Pernah baru-baru ini, aku menangis tersiksa menyesali kepergian Ko Andri. Mengingat dirinya dan berangan-angan Ko Andri kembali agar aku dan ko Andri dapat membuka restoran vegetarian untuk mempermudah orang-orang bervegetarian. Dan ternyata itu mengganggu ko Andri. Waktu itu siang hari, ibuku pergi tidur siang dan langsung bermimpi. Ko Andri duduk di depan dua kios tertutup sambil menangis dan murung. Saat ibuku menceritakan hal itu, aku tersadar; aku tidak boleh merepotkan dan mengganggu peristirahatan beliau. Aku telah salah. Oleh karena itu, ketika kita mengenang kembali orang yang berarti dalam hidup kita, itu bukan hanya kita yang bersedih. Tetapi juga orang yang kita kenang juga ikut bersedih.

Popular posts from this blog

Kisah di Balik Cetya Rumah Saya

Perasaan Sebagai Ksatria

Toko Jamu "Tjap Nyonya Kaya" Milik Ryu Kintaro

Janji Sehidup Semati (Memperbaiki Hubungan Suami Istri)

Mengenang Ko Aming

Mari Kita Mendaur Ulang Kertas

Kembang Tahu Matahari

Mengenang Alexander Arvy

Nasi Campur Che It dan Cap Go