Kisah Sebelas Pembina Diri
Pada zaman dahulu kala, periode dinasti Tang (Tiongkok) tepatnya di Gunung Chiseosan (yang sekarang termasuk negara Korea Selatan), ada sepuluh biksu mengembara dari Tiongkok ke provinsi Gyeongsang Selatan, Korea Selatan untuk mengembangkan ajaran Buddhisme. Tepatnya seorang biksu yang dituakan oleh biksu-biksu muda lainnya Bernama Jajang pergi ke arah Korea yang saat itu masih termasuk wilayah oriental Tiongkok.
Di sana
membangun sebuah Vihara sederhana dengan bangunan yang lebih tepatnya dikatakan
sebuah gubuk. Sepuluh biksu mengembara demi ajaran Buddha dan bertapa, merapal
Paritta, dan memberi ceramah bagi Masyarakat di sana.
Kalau diceritakan
awal mulanya, dari mana sepuluh biksu ini berasal. Adalah dari Kuil Shaolin
yang berpusat pada Peking dan tetua biksu di sana mengutus sepuluh biksu ini pergi
ke bagian Korea Selatan untuk mengembangkan keboddhian tanpa memilih tempat.
Perjalanan ke
sana dilakukan selama hampir kurang lebih seratus hari dengan berjalan kaki. Kemudian
meminta beberapa tukang kayu di daerah sana untuk “menyumbang” mendirikan
sebuah bangunan sederhana (pada zaman dahulu kala pindapatta bukan sekedar
tentang makanan, bahkan juga bisa berupa sumbangan material untuk tempat
tinggal biksu).
Di sana
setelah bangunan didirikan, Biksu Jajang dan Sembilan muridnya bermeditasi dan
berpuasa sepuluh hari dalam diam untuk meminta petunjuk Alam Semesta darimana
Dhamma Buddha harus dibabarkan. Tiga bulan pertama untuk mempelajari bagaimana kehidupan
Masyarakat serta menyimpulkan Dhamma apa yang sekiranya cocok dibabarkan untuk Masyarakat.
Biksu Jajang
adalah bagian dari aliran Mahayana, sehingga terbiasa membuat sup tahu yang
hanya sebalok kecil tahu putih yang disiram air panas sebagai makanan paling
mewah dan sayuran hijau sebagai makanan sehari-hari. Membimbing dirinya dan Sembilan
murid lainnya dengan rasa hambar yang kadang membuat orang yang melihatnya
sangat iba yang akhirnya membuat Masyarakat rela membangun kembali Vihara gubuk
yang kecil menjadi permanen.
Karena kesalehan
sepuluh biksu dan ceramah yang menjawab banyak permasalahan Masyarakat tak lama
Masyarakat di sana sering pergi ke Vihara untuk menanyakan pendapat dan
mendapat petunjuk. Sepuluh Biksu yang sederhana tersebut juga sangat diterima
oleh Masyarakat Korea yang saat itu berkomunikasi dengan mandarin yang kalau
anda dengar logatnya mungkin agak sedikit seperti melayu.
Suatu hari,
Biksu Jajang seperti mendapat petunjuk untuk pergi ke arah pasar. Padahal sayuran
hijau semua sudah cukup, tapi hatinya seperti mendengar bisikkan untuk pergi ke
arah pasar. Katanya digerbang batas Tiongkok dan Korea ada yang sedang menunggu
Biksu Jajang. Saat sedang berjalan melihat seseorang berambut lebat dan
berjalan sambil tertawa-tersenyum tapi berpakaian biksu abu-abu menjadi pusat
perhatian orang-orang di pasar. Saat itu Biksu Jajang paham betul, itulah Biksu
yang sepertinya agak dungu dan sepertinya akan membuat malu perkumpulan sangha
jika tidak ditolong. Akhirnya dari keramaian itu biksu Jajang segera menariknya
dan membawanya pergi dengan cepat kembali ke Vihara.
Sesampainya
di Vihara, Biksu Jajang mencukur rambutnya tapi sepertinya dia terlalu sensitif
jika kepalanya digunduli.
“astaga,
kenapa bisa begini? Kamu biksu dari sangha mana? Mengapa dirimu menjadi seperti
ini?”
“Dhamma
bersifat lentur, berdasarkan apa kamu mengatakan kamu sudah menjadi Pembina Diri
yang baik? Apakah dengan penampilan yang agung dan cara berdoa yang agung semuanya
sudah diterima Sang Buddha? Apakah penampilan mu mewakili hati mu? Aku bisa
lihat kamu sangat sempurna tapi apa bedanya dengan berkaca pada cermin
berstandard (Menyangkut pada patriat Zen ke-enam Hui Neng)? Apakah kamu mau
menjadi gila karena mengawasi dirimu sendiri dan marah ketika kamu hanya
melakukan satu kesalahan?”, jelas biksu gila itu.
Saat itu Biksu
Jajang berhenti untuk mencukur dan “kamu… baiklah ceramah mu sangat bagus
sekarang bagaimana pun kamu juga adalah bagian dari Sangha ini”. (Sebenarnya
biksu gila ini menyempurnakan Biksu Jajang (kalau dalam Yi Guan Dao adalah Khai
Kuang Chiu Tao menyadari Nurani sendiri
letaknya di mana) sehingga kalau dalam Buddhisme sudah mencapai tataran yang
sangat tinggi dalam sutra intan berbicara tentang bagaimana bentuk roh suci
kita sendiri.
“Sangha?
Apakah kamu terikrat dengan Sangha? Bahkan aku pun berseragam abu-abu tapi
menjalankan apa yang Bhante Agung (Sang Buddha) ku ajarkan padaku (berbicara
tentang perbedaan aliran (Biksu Gila ini bagian dari Theravada) ? Aku pencela kamu?
Masih mau memelihara ku?”
“kalau kamu
demikian berbicara padaku, maka jadilah yang kamu katakan. Sangha bukan hanya
sekelompok ini saja kan!? Oleh karena itu bagaimana pun aku harus menjaga
saudara ku yang sama-sama berpedoman pada Sang Tri Ratna. Tak membeda-bedakan”.
“Haha…
Bahkan hanya berdasarkan pakaian ini kamu mengatakan aku seorang Pembina diri
yang membina pada Sang Buddha. Baiklah aku akan tinggal di sini dan
berpindapatta sendiri”, jelas biksu Gila itu.
“Kamu harus
bermeditasi (menenangkan diri) dan memperkecil rasa di lidah mu. Kembali lah,
dan makanlah makanan vegetarian yang ada di Vihara! Jangan merepotkan umat!
(saat itu biksu masak sendiri karena tidak ingin merepotkan umat berpindapatta
(sengaja masak untuk dipersembahkan
kepada bhante))”, jelas biksu Jajang.
Akhir kata
Biksu Gila itu tinggal di Vihara tersebut dirawat oleh biksu Jajang. Bagi biksu
Jajang, meski pun merepotkan tapi ini adalah sebuah perkembangan. Yang menjadi
biksu bertambah satu, semua total menjadi sebelas. Walaupun biksu gila itu
tetap mempertahankan prinsip aliran Theravada. Lalu bagaimana dengan rambut
biksu gila tersebut? Biksu Jajang hanya merapikannya minimal menjadi cepak
sehingga kelihatan lebih rapi. Karena setiap akan dicukur habis, pisau cukur
langsung mengenai kulit kepala Biksu Gila tersebut dan dia langsung tertawa
kegelian. Sehingga mau tidak mau hanya merapikan rambutnya saja supaya tidak terlihat
gondrong.
Suatu saat,
biksu Jajang mendapat pertanyaan dari kaum cendekiawan korea Konfusius yang
senang mempelajari agama Kristen. Kadang dari satu pertanyaan ini sering muncul
hal-hal yang ada di masa depan. Artinya Biksu Jajang tidak bisa menjawab hati
cendekiawan ini. Tapi tiba-tiba Biksu Gila ini memotong pembicaraan dan
langsung berkata; “yang terpenting adalah diri sendiri berbuat baik dan benar. Memastian
diri sendiri berada di rel yang tepat, tidak perlu bergantung dan didikte oleh
sesuatu yang dinamakan tuhan! Sadarlah!”, hal itu membuat cendekiawan itu
sangat geram dan pergi tanpa pernah kembali ke Vihara itu.
Bukannya
marah atau apa, biksu Jajang mengerti, cendekiawan itu memang sengaja mau
menguji. Karena bagaimana pun cendekiawan itu sudah terlanjur percaya Kristen. Pada
intinya pembicaraan itu tidak akan pernah ada titik temu dan titik akhir. Tapi Biksu
Jajang sangat percaya, lagi-lagi Biksu Gila ini menyentuh area sensitif yang
kalau diketahui hanya dipelajari dan dimengerti oleh biksu-biksu yang sudah
sangat tua.
“Baiklah Lie
Xiong (Marga Sang Biksu Gila), kamu boleh mulai berceramah di setiap hari ketujuh”,
kata Biksu Jajang.
“Wah,
sebuah kejutan. Kamu sudah menyadari aku tidak dungu atau apa? Bagaimana kalau
aku bermain-main di hari ke-tujuh? Hahahaha…”, jelas Biksu Lie.
Biksu Jajang
hanya bangun dari tempat duduknya dan pergi ke kamar. Hati kecilnya percaya,
Biksu Lie tidak akan sembarangan berbicara. Apa yang terjadi padanya hari ini
adalah justru dari perlakuan Sangha nya yang lalu yang senantiasa menghukum
pikirannya secara terus-menerus. Meski pun terlihat gila dan sinting tapi
kata-katanya sudah dipenuhi Buddha. Artinya Buddha selalu di sampingnya, Buddha
selalu di hatinya, menjaga semua dirinya karena ia sudah ditahbiskan sebagai
Biksu. Umurnya juga sudah tidak bisa dibilang muda lagi. Biksu Jajang berusia
56 tahun, sedangkan Biksu Lie berusia 50 tahun. Sebagai biksu, hal yang harus
dilakukan adalah memberi nasehat berupa ceramah. Kalau tidak melakukan hal
tersebut maka tidak pernah ada perkembangan.
Buah dari
kepercayaan berbuah manis. Biksu Lie menjadi sosok yang sering didengar orang-orang
dalam berceramah. Melihatnya sungguh sangat jenaka, inilah awal dari sebuah
kelenturan Dhamma. Kalau dahulu biksu berceramah semua harus agung, peserta
ceramah menjadi sangat tegang. Semenjak era biksu Jajang yang membawa biksu Lie,
entah sejak kapan tawa umat kembali memenuhi Vihara ini. Biksu Lie yang
berceramah sangat berbeda dengan kehidupan Biksu Lie sehari-hari yang terlihat
benar sering tertawa dalam keputus-asaan dan merasa hidupnya sangat konyol.
Biksu Jajang tanpa bertanya lebih lanjut bisa melihat kehidupan Biksu Lie semasa
masih akil balik dan hal itu berkaitan dengan wanita.
Dalam kesaktian
Biksu Jajang yang mampu menelusuri kehidupan masa lalu orang-orang yang
berjodoh kepadaNya. Beliau tidak pernah membocorkan ini semua, beliau hanya
tahu dan mengerti alasan mengapa orang-orang ini bisa menjadi seperti itu.
Dalam kasus
biksu Lie, semasa remaja biksu Lie ini sudah dijodohkan dengan seorang wanita
yang kaya raya dan bangsawan. Background biksu Lie ini juga berasal dari keluarga
kaya yang berpendidikan. Tapi karena Biksu Lie ingin mempelajari Dhamma maka
menolak perjodohan itu. Biksu Lie kabur dengan menjadi biksu dan masuk Sangha
Theravada. Sang wanita sangat licik sehingga menjebak biksu Lie dengan masuk ke
kamar biksu Lie pada siang hari dan mengatakan Biksu Lie telah melecehkannya.
Seketika pandangan
sangha kepada Biksu Lie benar-benar tidak mengizinkan dirinya berkembang lagi. Ia
sering dijadikan contoh yang buruk pada ceramah-ceramah biksu yang lainnya. Dia
dikucilkan dan dihukum layaknya tidak pantas mendapatkan hal-hal baik yang didapatkan
biksu lainnya. Dia pun akhirnya menjadi sinting dan pergi mengemis dengan
berpakaian biksu. Selama umurnya dari lima belas tahun hingga lima puluh tahun.
Ia senantiasa hadir dalam ketidak-beruntungan orang-orang yang terzolimi tanpa
meninggalkan jejak apa-pun. Dalam ketidak-stabilan jiwanya dia selalu
mengupayakan untuk membantu orang-orang yang dia temui ketika dalam kesulitan. Sehingga
tak jarang orang-orang yang dia tinggalkan setelah ditolong olehnya menyebut
biksu Lie sebagai “Buddha Yang Hidup”,
Biksu Jajang
berdiam menahan kegelisahan dengan menggertakkan giginya. Ada sesuatu yang
terlintas dalam benaknya. Sebenarnya Biksu Jajang telah mengistimewakan Biksu
Lie tanpa sepengetahuan Sembilan biksu lainnya. Di sini terlintas, entah siapa
duluan yang wafat tapi ini membuat hati biksu Jajang gelisah.
Dan, entah
sejak kapan Biksu Lie mulai jarang pulang ke Vihara. Dia melakukan pindapatta
ke rumah-rumah umat, tapi ada satu rumah umat yang sepertinya membawa isu yang
tidak baik bagi anggota sangha. Biksu Jajang seketika langsung menyadari dan
langsung pergi ke rumah umat tersebut menjemput Biksu Lie.
Yah Biksu
Lie sering mendapatkan pindapatta Paha Ayam Kecap dari rumah umat yang juga
merupakan seorang janda stress. Kegelisahan Sang Janda membuat dirinya selalu
memutuskan untuk berpindapatta daging-dagingan dan saat itu kebetulan Biksu Lie
memperbolehkan dirinya menerima itu semua (karena dia berprinsip pada Sangha
Theravada sehingga tidak terlalu mengikuti Sangha Mahayana tempatnya bernaung).
Hampir setiap
hari Biksu Lie pergi ke rumah Sang Janda untuk menerima pindapatta tersebut. Sehingga
mulai muncul isu-isu yang kurang mengenakkan. Dan akibat kelakuan Biksu Lie
menurunkan elektabilitas kepercayaan Masyarakat kepada biksu dan kembali ke
ajaran semula yaitu Taoisme, Cheondisme, dan Shamanisme. Di sinilah penyebab agama Buddha tidak begitu
berkembang di Korea Selatan karena masalah ini sebenarnya.
Biksu Jajang
menjemput paksa Biksu Lie dan kemudian mengurungnya di Vihara. Ia benar-benar diminta
untuk bertobat dan menyuruhnya untuk bervegetarian. Selama sebulan benar-benar
diterapi ekstrim oleh biksu Jajang dan hasilnya ia kembali menjadi seperti
biasa namun ada berubah, pandangan mata biksu Lie menjadi kosong. Dan sejak
saat itu pula, ceramah dan kegiatan biksu Lie menjadi sangat terbatas.
Perlakuan biksu
Jajang terhadap biksu Lie selama sebulan terakhir juga menjadi sorotan dan isu
yang sangat ekstrim di antara Masyarakat. Seorang dukun tradisional terkenal
yang kehilangan pengikut akibat sekumpulan biksu ini pun juga turut melakukan
keajaiban yang semakin membuktikan kehancuran manusia ketika menjadi pengikut
Buddha. Hanya dalam waktu sebulan kepopuleran Vihara menjadi hancur dan Sembilan
biksu lainnya menjadi gusar. Tetapi biksu Jajang menenangkan para biksu dengan
kembali mengingatkan bagaimana dulu kita merintis Vihara dengan kesabaran. Sehingga
akhirnya kembali ke titik semula, di mana biksu semua merenung, bermeditasi,
bertobat, membaca paritta, dan berpuasa selama sebulan lamanya. Dan hasilnya, beberapa umat yang tulus bisa
bertahan dan kembali rutin mendengarkan Dhamma. Meski pun sudah tidak sebanyak
dulu lagi.
Di suatu
musim panas yang sangat panas. Biksu Jajang duduk di dapur sambil menganyam
sebuah kipas. Melihat biksu Lie akhir-akhir ini berkelakuan baik. Ia memutuskan
untuk menganyam sebuah kipas sebagai permintaan maaf dan juga berharap ia bisa
memakai kipas ini untuk membuat dirinya merasa lebih sejuk.
Di saat
bersamaan, biksu Lie masuk ke dapur untuk minum. “Guru membuatkan kipas untuk
siapa?” tanya biksu Lie. “untuk kamu, tapi kipas nya belum jadi”, jelas biksu
Jajang sambil tersenyum.
Pandang biksu
Lie melihat biksu Jajang sedang menganyam kipas menjadi menerawang. Ia tidak
bilang apa-apa dan pergi berlalu ke rumah Sang Janda untuk berpindapatta.
Di waktu
sore hari, anyaman kipasnya sudah selesai. Tapi di saat itu juga, tiba-tiba
sang janda berlari ke Vihara dan menangis memanggil, “Guru, guru! Sangat gawat!
Guru Lie tak sadarkan diri sehabis memakan ayam yang kupersembahkan!” tanpa
berkata apa-apa Biksu Jajang langsung berlari ke rumah Sang Janda dan mendapati
tubuh Biksu Lie telah membiru akibat tersedak ceker ayam yang melukai
tenggorokannya dan juga terkena serangan jantung sehingga tubuhnya membiru.
Ini sangat
menyedihkan dan membuat kesembilan biksu benar-benar simpang siur. Seorang tukang
reparasi kayu yang hanya mampu membuat peti dari empat papan triplek yang tipis
dan menjadikannya persembahan terakhir bagi Biksu Lie. Biksu Lie pun
disemayamkan di depan altar Buddha yang kecil di Vihara tersebut. Sebelum tutup
peti, melihat rambut Biksu Lie yang Panjang membuat biksu Jajang menyesali
tidak sempat mencukur rambut Biksu Lie di saat terakhir. Biksu Jajang pun
akhirnya hendak berlari pergi ke pasar mencari Kim Cua yang besar (uang kertas
dalam ajaran Taoisme yang biasa digunakan untuk persembahan arwah. Saat itu
dalam ajaran Buddha belum memakai uang kertas, sehingga hal ini merupakan hal
baru (saat itu) di mana tradisi Masyarakat dan ajaran Buddha bersatu). Segera membuat
bentuk perahu kertas dan memakaikan di kepala jasad biksu Lie untuk menutupi
rambut Biksu Lie (agar lebih rapih, karena tradisi Masyarakat saat itu, jika
kematian mendadak dan kurang wajar harus segera dikuburkan sebelum sore hari
dan dalam hari itu juga harus beres. Karena Biksu Lie dianggap masih muda).
Biksu Jajang
mencoba menenangkan Sembilan biksu muda yang gusar dan menginstruksikan untuk
melafalkan nama buddha Amitabha sebanyak-banyaknya hingga waktu penguburan.
Dan dibantu
para pekerja kasar (perajin kayu-kayu) membawa peti berisikan jenazah Biksu Lie
pergi ke peristirahatan terakhir dibawa pohon Boddhi (saat itu ada sebuah pohon
Boddhi yang di tanam oleh biksu Jajang dekat dengan vihara dan sudah cukup
besar sehingga membuat liang kubur Biksu Lie di sana). Masyarakat yang terharu mengadakan sembahyang
tancap tiga dupa (Taoisme) di depan kubur Biksu Lie dan lantunan nama Buddha
Amitabha tak putus-putus dilantunkan mengantar kepergian Biksu Lie.
Tahun-tahun
berlalu, biksu Jajang kembali ke Peking atas permintaan kepala Biksu di sana. Keberhasilannya
dalam mengembangkan ajaran Buddha di Korea Selatan membuatnya ingin ditahbiskan
menjadi biksu yang lebih senior lagi. Namun, biksu Jajang mengingat sahabatnya,
Biksu Lie. Hingga akhirnya membuatnya menolak pentahbisan itu dan lebih memilih
berpakaian abu-abu dengan celana hingga akhir hidupnya.
Tiga bulan
sebelum biksu Jajang wafat, biksu Jajang kembali melakukan perjalanan ke Vihara
yang membuat dia selalu abadi. Sebagai biksu yang menyamakan dirinya dengan
sahabatnya Biksu Lie, ia membawa sebuah arak beras di guci hijau dan
menuangkannya layaknya orang awam biasa di depan kuburan biksu Lie.
Sepanjang hidup,
baru hari itu Biksu Jajang melanggar pantangan bermabuk-mabukkan. Sungguh dalam
arak beras itu, ia sungguh merindukan masa-masa heroiknya bersama kesembilan muridnya
dan sahabatnya yang ia temukan di gerbang perbatasan Tiongkok dan Korea. Baginya
ia sangat rindu untuk merawat dan menjaga Biksu Lie yang sangat kasihan.