Dewa Kecil Penjaga Vihara
![]() |
Gambar Hanya Ilustrasi |
Pernahkah Anda pergi ke Vihara atau Kelenteng dan mendapati tidak ada petugas keamanan (satpam) yang menjaga tempat ibadah tersebut?)
Pada saat
perang Tiongkok – Jepang yang dimulai tahun 1937 – 1945. Pada tahun 1940,
lahirlah seorang anak Bernama 欧家如 (Ou Jia Ru). Lahir
di tengah kondisi peperangan Tiongkok – Jepang di provinsi Tian Jin. Sejak berada
di kandungan, Jia Ru banyak terpapar senjata kimia (asap bubuk mesiu) yang
menyebabkan struktur otak yang mengatur bagian komunikasi bicara Jia Ru
terpengaruh sehingga perkembangannya kurang baik.
Ketika berusia
dua tahun, Jia Ru belum bisa berbicara. Di usia ketiga tahun, Jia Ru kehilangan
kedua orang tuanya yang disebakan keracunan asap atau polusi senjata api yang
menyebabkan kondisi pneumia serius kedua orang tuanya.
Setelah kepergian
kedua orang tuanya, Jia Ru mengikuti pamannya yang Bernama 欧宋波 (Ou Song Bo)
yang juga seorang umat Vihara (Tan Zhu) (dibawah kepemimpinan seorang Pandita Chen
(Chen Dian Chuan Shi) yang bermarga Chen) (Saat Dao masih disebarkan di Tiongkok
Daratan). Ou Tan Zhu mendirikan altar (An Than) di rumahnya, dan menjadikan
rumahnya sebagai cetya untuk mendengarkan Dharma bagi umat-umat sekitar.
Jia Ru adalah
seorang anak yang lambat berbicara, kurang bisa mengekspresikan emosinya. Akibatnya,
ia menjadi anak yang nakal dan suka “tantrum” jika merasa tidak enak atau tidak
suka dengan sesuatu. Ia tumbuh besar dalam bimbingan yang keras oleh pamannya. Di
usia lima tahun, karena tak lancar berbicara (gagap), Jia Ru sering berdiam
diri di depan gerbang rumahnya yang juga sebuah cetya sederhana.
Jia Ru
selalu duduk di depan gerbang rumahnya. Melihat dan menyambut umat-umatnya datang.
Ia disuruh pamannya untuk memberikan handuk Da Mao Jing agar umat-umat menyeka
tangannya. Kebiasaan memberikan handuk (Mao Jing) Adalah supaya umat-umat boleh
membersihkan hati mereka untuk Bersiap mendengarkan Dharma yang akan dibabarkan
di dalam Vihara.
Suatu saat,
di usia sebelas tahun, terjadi kerusuhan di depan Cetya tersebut. Saat itu sedang
ada kelas hari Minggu di Cetya sederhana tersebut. Tiba-tiba ada banyak tentara
Partai Komunis yang sedang memeriksa rumah-rumah dan mulai menyiksa penduduk setempat.
Jia Ru yang
melihat tentara Partai Komunis berdatangan, mulai memberi tahu pamannya dan membimbing para
umatnya untuk keluar dari pintu belakang. Sayangnya, Jia Ru malah berkata
kepada pamannya bahwa ia akan menjadi umpan bagi tentara Komunis dan membiarkan paman
dan umat-umatnya kabur dari pintu belakang.
Ia berjanji,
bahwa ia akan segera pergi menyusul pamannya di belakang. Saat Jia Ru menuju
gerbang rumahnya, saat itu sudah ada tentara Partai Komunis yang datang untuk menangkap
para umat, Jia Ru mengulur waktu untuk menghalangi para tentara masuk.
Jia Ru
ditarik lalu dijatuhkan ke tanah dan diinjak perutnya hingga darah keluar dari
bibirnya. Jia Ru tetap berusaha bangkit dan menarik salah satu bahu tentara yang
masuk ke dalam rumahnya. Spontan Jiaru langsung di Tarik hingga tersungkur di
tanah dan diinjak-injak lagi hingga setengah mati. Saat sekarat, tubuh kecil Jia
Ru ditembak hingga berkali-kali. Ia mencapai kesempurnaan dengan kondisi ayan
(tubuhnya masih kejang-kejang (ia masih bisa merasakan sakit meskipun ia sudah
tidak bisa hidup)).
Di akhir
kehidupannya ia dijemput oleh Ji Gong Lao Shi dan mendapat gelar Bodhisattva sebagai
Dewa Suci Yang Melindungi Kesetiaan Tanpa Mengenal Rasa Takut (Bao Zhong Bu Pa
Zhen Jun (包忠不怕真君).