Kisah Ma Xiu Niang dan Zhan Yu He
![]() |
Ilustrasi Zhan Yu He |
![]() |
Ilustrasi Ma Xiu Niang |
Aku akan menceritakan bagaimana seorang pacar yang belum sempurna menyempurnakan kekasihnya yang berpendidikan Konfusius.
Pada zaman
dinasti Han Akhir, hidup seorang gadis Bernama Ma Xiu Niang (馬秀娘). Ma Xiu
Niang adalah seorang putri dari Ma Wen Hua (馬文化), seorang yang kehidupannya lumayan
berkat menjual pangsit vegetarian di pasar di kota Chongqing, di distrik Yu
Zhong. Istrinya yang Bernama Zhang Xiu Cai(张修才), sangat rajin membantu suaminya
membuat kulit pangsit.
Ma Xiu
Niang sedari kecil sering diajak orang tuanya pergi ke Vihara yang beraliran
Mahayana. Sejak kecil, meskipun seorang putri yang sangat disayang ayahnya tapi
sangat berkemauan keras dalam menghafal sajak-sajak sederhana dan selalu
berinisiatif ke Vihara untuk membaca Paritta semenjak berusia dua tahun.
Ma Wen Hua
yang juga agak irit melihat di Vihara bisa belajar begitu banyak, memilih untuk
membiarkan A Niang pergi ke Vihara belajar sajak, syair, dan puisi. Sehingga jadilah
A Niang seorang anak yang bijak namun juga sangat cekatan.
Di usia A
Niang yang ke tujuh tahun bertemu dengan Zhan Yu He (曾玉河)yang berusia dua tahun lebih tua
darinya di Vihara. Yu He dan keluarga baru pindah dari Peking karena ayahnya
yang seorang pejabat yang di mutasi ke daerah Chongqing untuk mengurus
perpajakkan Negara Bagian Chongqing (saat itu pemerintahan Tiongkok Kuno masih belum
bersatu menjadi Tiongkok Daratan, Chongqing masih mengakui dirinya sebagai negara
yang terpisah yang berbeda dengan Tiongkok, sehingga kedatangan ayah Yu He ke
sana adalah sebagai seorang yang memastikan hubungan terpusat antara
pemerintahan daerah dengan pemerintahan pusat di Peking).
Yu He
semenjak pindah ke Chongqing, selalu diajak ibunya setiap hari ketujuh untuk
belajar syair dan membaca Paritta di Vihara Luo Han tempat keluarga A Niang
yang juga sangat aktif sebagai salah satu pengurus Vihara di Vihara Luo Han. Tak
butuh waktu lama, namanya anak-anak, mereka berdua dan teman-teman yang lain
langsung akrab, bermain bersama tanpa membedakan mana pria dan mana wanita.
Di usia ke
11 tahun, A Niang mulai menyadari adanya perbedaan pria dan wanita. Begitu juga
Yu He, di usia 13 tahun merasa lebih tertarik melihat A Niang dan seperti sudah
merasakan naluri pria dewasa, Yu He sangat ingin menjaga A Niang. Tanpa disadari
A Niang dan Yu He mulai suka berjalan-jalan bersama hanya untuk makan Cincau
atau mungkin Minum Kolagen Main-main (kalau sekarang namanya Peach Gum).
Di usia
sepuluh tahun, A Niang suka membuat keranjang yang berasal dari bambu dan rotan
batang kecil yang kaku dan susah untuk dibentuk. Akan tetapi, A Niang sangat
sabar dan secara kreatif dan pelan-pelan membentuknya persis seperti sarang
burung. Tak butuh waktu lama, tantenya atau tetangganya melihat keunikkan keranjang
tersebut dan mulai memesan keranjang yang berukuran tanggung dan besar untuk
proses lamaran (Sang Jit) Masyarakat saat itu. Segera keranjang tersebut
menjadi sangat populer dan banyak sekali penyedia jasa paitu dan sangjit
mengikuti desain keranjang tersebut.
Saat itu,
Yu He yang berusia dua belas tahun yang akrab dengan A Niang juga sering mampir
ke rumah A Niang untuk bermain hingga sore hari. Setiap hari membantu A Niang
membuat keranjang. Akan tetapi, pada awalnya, Yu He sering mematahkan batang-batang
kecil rotan tersebut. Meski pun begitu A Niang tidak marah justru mendukungnya
untuk terus berusaha. Dari sana bibit-bibit asmara pun tumbuh di hati Yu He.
Di usia A
Niang yang ke 11 tahun, beliau “ditembak” oleh Yu He yang berusia 13 tahun
untuk berpacaran. Pada awalnya A Niang tidak terlalu paham, namun perlahan tapi
pasti A Niang mulai sadar bahwa memanglah benak A Niang selalu dipenuhi wajah
Yu He. Hari-hari A Niang juga selalu diawasi oleh Yu He. Hingga di usia ketiga
belas, A Niang yang juga anak seorang pengurus Vihara Luo Han mulai berencana dan
tanpa sadar menjadi pencetus Sekolah Minggu Buddha pertama di dunia bagi
anak-anak yang tidak mampu di Vihara Luo Han.
Kekuatan
Karma dan Ikrar yang sama-sama menguji keyakinan dan keteguhan Hati
A Niang
mengajukan gagasan untuk membuka sekolah Minggu untuk anak-anak kurang mampu
kepada Kepala Biksu di Vihara Luo Han. Ternyata itu harus melalui serangkaian
ujian oleh Kepala Biksu di Vihara Luo Han.
Bagaimana ujiannya?
Beberapa romo dan biksu-biksu mulai menguji apakah A Niang dapat menjadi
seorang Guru? Mengingat latar belakangnya yang tidak menempuh Pendidikan Formal.
Yang ditakutkan adalah A Niang malah salah dalam mengajar anak-anak kecil.
A Niang
mempersiapkan presentasinya yang juga dibantu Yu He yang seorang mahasiswa
Sastra dan Budaya Tiongkok. Hal itu bagaikan membuat sebuah skripsi. A Niang
yang ia pikir hanya tinggal menulis kata-kata yang baik untuk ditunjukkan
kepada para Biksu dan Romo, ternyata malah diberi petunjuk oleh Yu He untuk
melakukan pengamatan ke lingkungan kumuh di distrik tersebut.
Di sana Yu
He mengajak A Niang untuk melakukan wawancara untuk mengetahui isi kepala Masyarakat
dan anak-anak di sana. Hasilnya sungguh mencengangkan. Mereka merasa anak-anak
hanya perlu memperhatikan dan membantu orang tuanya bekerja saja dan lebih
memilih supaya anaknya menjadi pekerja kasar di Pasar.
Melihat demikian
A Niang dan Yu He tidak bisa tinggal diam. Mereka segera menyusun rencana untuk
segera mengubah paradigma ini. Maka presentasi yang semula disiapkan A Niang yang
tadinya hanya untuk menjelaskan dan bercerita malah membuatnya membawa lima
anak dari pedesaan itu pergi Vihara di hari ke-enam sesuai yang ia janjikan kepada
para biksu dan romo .
Para biksu
dan romo tercengang melihat anak-anak yang penampilannya sangat kumuh. Anak-anak
tersebut dituntun Yu He untuk duduk di bangku kecil yang telah dipesan Yu He
kepada tukang kayu terbaik di distrik Yu Zhong. Saat itu juga yang terpikir
oleh A Niang adalah mengajarkan aksara Han seperti “Wo (我)” “Ni (你)” “Ta (他)”. Dan berkat
keajaiban ikrar suci A Niang yang ingin membuka Sekolah Minggu, mereka bisa
mengerti dan langsung bisa menulis dalam satu kali pengajaran. Sontak saat itu
kepala biksu memahami, inilah semangat Bodhisattva yang cinta tanah air. Sehingga
akhirnya mulai merintis Sekolah Minggu Buddha pertama di dunia.
Bukan hanya
anak-anak miskin bahkan anak-anak yang mendapatkan Pendidikan formal pun juga
tertarik untuk mengikuti Sekolah Minggu ini. Akhirnya A Niang membentuk tim
kurikulum yang beranggotakan 12 remaja putri dari berbagai kalangan kemudian
memutuskan untuk mengajarkan syair bagi anak-anak yang “pernah belajar membaca”
dan menjelaskan makna Paritta bagi anak-anak yang berusia 9-12 tahun yang
sedang menempuh Pendidikan formal.
Yu He
melihat itu juga tidak tinggal diam. Ia mulai mengajarkan anak laki-laki yang putus
sekolah yang usianya beranjak remaja. Yu He mengajar tentang sastra dan budaya
Tiongkok kuno di Vihara tersebut. Sontak setiap hari Sabtu dan Minggu, Vihara
dipenuhi tawa dan suara anak-anak yang sedang merapal sayir dan paritta
sehingga membuat para biksu dan romo semangat mengumpulkan dana untuk membuka
lebih banyak ruangan di Vihara tersebut. Romo pun juga senang, banyak sekali
orang tua murid-murid sekolah Minggu yang mulai terdidik dengan adanya kelas
Dharma Umum di hari Minggu dan kelas Dharma di setiap tanggal 1 dan 15 setiap
bulan.
Tak jarang
karena kemajuan ini, membuat A Niang hampir setiap hari pergi ke Vihara dan
pulang larut malam. Karena masalah ini juga akhirnya A Niang dan Yu He
memutuskan untuk menjaga jarak jika di lingkungan Vihara. Akan tetapi Yu He
masih selalu pergi ke rumah A Niang selepas pulang sekolah untuk membantu
ibunya membuat pangsit vegetarian.
Suatu malam
(kira-kira pukul delapan) A Niang baru pulang dari sebuah toko tinta dan mao pik.
Vihara ingin membuat sebuah kegiatan lomba membaca syair dan sajak. Saat itu, A
Niang mulai sering batuk-batuk. Dan saat sedang batuk, A Niang menutup mulutnya
dengan tangan. Saat membuka tangannya, ia mendapati darah di tangannya.
Di saat
bersamaan, Yu He yang tadinya ingin menjemput A Niang untuk mengantarnya pulang,
menyaksikan hal itu dan sangat terkejut. Yu He segera mengambil sapu tangannya
dan membersihkan tangan A Niang dari darahnya.
Yu He
langsung membawa A Niang ke tabib dan membelikannya obat. Segera ia melaporkan
kepada orang tua A Niang. Saat itu untuk pertama kalinya seorang Yu He menginap
di rumah A Niang dengan izin orang tua A Niang untuk menjaga A Niang. Yu He
menjaga A Niang hingga beberapa hari.
Yu He
akhirnya selalu memberikan A Niang ramuan penguat paru-paru dan sering
membelikan umbi akar Teratai agar paru-parunya membaik.
A Niang yang
sibuk tidak selalu menuruti saran Yu He untuk meminum ramuan karena A Niang
tidak ada waktu untuk merebusnya. Akhirnya Yu He merebuskan ramuan penguat
paru-paru itu di rumahnya dan menuangkannya ke dalam sebuah baki tanah liat dan
membawakannya ke rumah A Niang untuk diminum A Niang.
Yu He
benar-benar khawatir. Sehingga mulai membicarakan hubungannya ke jenjang yang
lebih serius dengan A Niang. A Niang sontak syok dan ketakutan, ia belum siap. Saat
itu A Niang baru berusia 13 tahun dan Yu He berusia 15 tahun. A Niang berkata “kita
masih terlalu muda dan aku baru saja membuka Sekolah Minggu. Masih banyak hal
yang harus kuurus”, jelas A Niang disertai batuk-batuk.
“Aku harus
bagaimana? Aku benar-benar khawatir. Aku benar-benar mencintaimu!” jelas Yu He
A Niang
semakin kacau dan ia hanya bisa menangis. Di pikirannya yang masih belia, masih
terbayang wajah ayah dan ibunya yang juga pasti belum siap kehilangan putrinya
yang semata wayang yang juga kalau menikah pasti harus berpindah tempat tinggal
ke rumah Yu He.
Melihat hal
itu, Yu He mulai menggenggam kedua tangan A Niang dan mengusap air matanya. “Maafkan
aku”, jelas Yu He kemudian mengecup pipi A Niang dan memeluknya.
Di suatu
siang yang panas, di tengah kota Chongqing yang hanya seperti itu. Seperti menjadi
kota yang baru saat hendak pergi melihat-lihat barang-barang pernikahan. Anting,
gelang, dan kalung emas yang beragam. Hingga akhirnya, Langkah mereka berdua
mengantar ke suatu toko kain milik sahabat A Niang, Bernama Ci Ai (慈愛).
“Bolehkah melihat
kain berwarna merah yang motifnya bagus?”, tanya Yu He.
Ci Ai yang
juga sahabat A Niang mulai menerka-nerka dan tertawa kecil.
“baiklah,
akan kuberikan kain sutra merah terbaik di kota ini. Dengan motif burung Hong
yang terkenal. Sebagai sahabat yang kalian kenal baik, aku merestui kali dengan
memberi harga spesial pada kain ini. Hanya 5 tail emas per meter”, jelas Ci Ai
sambil tersenyum manis.
“Ah memberi
restu apanya!?”, jelas Yu He malu sambil menahan senyum bangga.
Setelah puas
melihat-lihat hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan tanpa memesan atau
membelinya. A Niang melihat-lihat aksesoris wanita yang dijual oleh seorang
pedagang yang berasal dari Tiongkok Timur. Giok-giok sisa pecahan yang diukir
membentuk Ju Lai Hut dan beberapa gelang giok, kerajinan simpul khas Tiongkok
Timur dan gantungan-gantungan yang sangat cantik dan lucu.
Yu He yang
berada di samping A Niang yang sedang tersenyum puas tiba-tiba jari
kelingkingnya disentuh oleh seorang anak kecil laki-laki.
“Ada apa,
dek?”, tanya Yu He sembari membungkukkan tubuhnya. Anak kecil itu membisik
kepada Yu He, “Ayo ko, beli gelang giok Kerajaan itu dan kenakan kepada kekasih
mu. Niscaya pasti dapat membuatnya terhindar dari musibah”.
Mendengar hal
itu, tanpa pikir Panjang Yu He langsung membelikan A Niang gelang giok itu. Dan
saat itu juga Yu He ingin memberi sedikit koin pada anak kecil itu, ternyata
anak kecil itu telah hilang entah ke mana?
Saat A Niang
telah selesai memilih dan hendak membayar, Yu He langsung memberi beberapa tail
perak kepada pedagang dan langsung menyentuh tangan A Niang dan memberikan
gelang giok Kerajaan kepada A Niang.
A Niang
sangat terkejut melihat gelang giok tersebut. Sontak saja ia langsung bertanya,
“haha… ini mau diberikan kepada ibuku atau bagaimana?”
“Banyak yang
bilang gelang giok ini bisa menjaga seorang putri dari musibah. Ayo pakai”,
jelas Yu He.
“Tidak ah! Tapi
akan aku simpan untuk diberikan kepada ibuku. Saya akan memberikannya kepada
ibuku”, jelas A Niang.
“Hei, itu
kubelikan untuk mu!”, jelas Yu He sambil membuntuti A Niang.
Di suatu Rabu
Siang, ketika anak-anak sekolah Minggu diajak duduk di depan kedai pangsit
milik ayah A Niang untuk menganyam keranjang kayu yang akan dijual sebagai uang
jajan anak-anak tersebut. Yu He bertanya kepada A Niang, “kamu juga suka
mengumpulkan bunga-bunga, mengapa tidak sekalian mengisi keranjang-keranjang
ini dengan sedikit bunga? Supaya harga keranjang lebih tinggi?”
Saat itulah
sekejap A Niang terdiam dan pandangan tiba-tiba hampa, kemudian dengan segala kebijakkannya
ia menjawab”, biarlah keranjang ini kosong. Sebab keranjang ini sebenarnya
telah diisi oleh ide dan pikiran orang yang menggunakannya dan hal itu tak
terlihat”.
Yu He
seorang mahasiswa sastra budaya Tiongkok Kuno tidak pernah menyangka bahwa A
Niang lebih sempurna dari dirinya. Sesaat itu bagaikan cangkir teh yang pecah
memuncratkan isinya tanpa rasa bersalah. Ia menyadari ada hal kosong tepat di
kepalanya.
Saat itu
juga pembicaraan ini menjadi suara anak-anak yang sibuk menganyam keranjang. Dan
sejak saat itu pula, wajah A Niang menjadi pucat dan kesehatannya menurun drastis.
Tepat di
usia 13 tahun di musim peralihan panas dan gugur. Pohon pinus harus memisahkan daun-daun
yang kering dari ranting. Masih ada sedikit hijau, tapi teriknya matahari
membuat itu semua perlahan menguning.
Di tanggal
26 bulan 7, A Niang batuk parah tak berhenti. Hal itu membuat sekujur tubuhnya
kejang-kejang dan semua otot ditubuhnya kram. Komplikasi penyakit saraf dan infeksi
paru-paru memicu jantung bekerja sangat cepat hingga akhirnya tak bisa bertahan
dan akhirnya waktu A Niang terhenti.
A Niang
meninggalkan ayah, ibu, dan Yu He begitu saja tanpa sedikit pun pesan. Awalnya ingin
disemayamkan di rumah sendiri dan langsung dikubur. Tetapi karena jasanya yang
begitu besar, Sang Kepala Biksu memindahkan tubuh A Niang lengkap dengan dalam
petinya ke Vihara Luo Han untuk dibacakan paritta selama tujuh hari penuh.
Semua pasangan
suami istri yang pernah memakai jasa paitu dan sangjit dari A Niang, membawa
anak-anak mereka yang masih bayi, berharap arwah dari A Niang bisa memberi
berkat kepada anak-anak mereka (saat itu, A Niang telah dianggap memiliki
kekuatan Dewi yang luar biasa).
Anak-anak
semua yang menangis berinisiatif membaca
Sutra Hati berulang kali hingga tujuh hari lamanya. Mengantar seorang perawan
suci ke peristirahatan terakhir. Yu He bagaikan orang yang mati separuh. Bingung,
linglung, semua tidak dapat dijelaskan. Menangis hingga air mata kering. Ma Xiu
Niang telah tidur abadi selamanya. Yah, telah tidur abadi selamanya.
Suatu ketika
di peringatan tiga tahun kepergian A Niang, ayah ibunya membersihkan kubur dan
memberi persembahan. Kedua orang tua A Niang juga masih kebingungan mencari
keberadaan Yu He.
Sejak dari
upacara mengantar ke peristirahatan terakhir hingga sekarang, Yu He tidak
pernah lagi menampakkan dirinya. Bahkan ayah dan ibu Yu He juga sangat frustasi
mencari Yu He yang hilang. Yu He merasa semua ilmu yang ia pelajari percuma hingga
akhirnya menjadi setengah gila dan pergi mengemis sambil bernyanyi di tengah
kota membawa sebuah keranjang kosong yang ia curi dari rumah pacarnya.
“Hahaha… Zhan
Yu He bukan lagi Zhan Yu He. Keberadaan kekasih bagaikan negeri dongeng. Bisa bertemu
tapi tak bisa berjodoh. Pada akhirnya apa yang kupelajari bagaikan keranjang
kosong ini. Terakhir aku penuhi ini dengan bunga-bunga, sepertinya aku begitu
serakah menginginkan kebahagiaan yang lebih. Aku tidak benar-benar jahat kan? Aku
hanya ingin kekasihku bangkit kembali. Biarlah syair-syair konyol yang
kupelajari kunyanyikan terus dengan nada sembarang. Ideku tiada bedanya seperti
keranjang kosong. Keserakahan ku penyebab semua ini. A Niang jangan salah paham,
kupersembahkan sekeranjang bunga ini bukan berarti meminta rezeki dari mu. Tapi
aku benar-benar tidak mengerti mengapa aku begitu menyayangi mu. Biarkan aku
menjagamu hingga selamanya. Aku mencintai mu…”
Catatan kaki:
Selepas itu,
Zhan Yu He menjadi pengemis dan pengamen yang sinting selama sepuluh tahun. Ia tidak
dapat melanjutkan pendidikkannya yang sebenarnya mempelajari pajak negara
sembari membantu ayahnya menyelidiki kasus yang terjadi di pemerintahan Chong
Qing.
Pada sisa-sisa
kehidupannya, ia kembali kepada keluarganya dan menolong rakyat dari Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme. Ia bahkan bisa menginap di rumah warga hingga berbulan-bulan
hanya untuk menyelidiki kemiskinan yang melanda sebuah desa secara tiba-tiba.
Zhan Yu He hidup
dan berjasa di era pemerintahan yang korup. Bahkan ia berhasil menyelidiki
suplai beras dan terigu yang tiba-tiba menjadi langka dan mahal ketika sampai
di Masyarakat.
Dia berusaha
untuk fokus dan melupakan kisah cintanya yang kelam dengan bernyanyi. Setiap ia
merasa sedih dan hampa, ia selalu bernyanyi.
Setiap tahun
memperingati hari kematian A Niang dengan mengintip kegiatan Ayah Ibu A Niang
yang membersihkan kubur hingga selesai. Lalu ia baru muncul di hadapan A Niang
dengan keranjang rotan yang ia sulam sendiri yang telah diisi banyak
bunga-bunga liar.