Kisah di Balik Cetya Rumah Saya

Setiap kenangan pasti ada ceritanya. Termasuk susah payah berjodoh dengan rupang-rupang Sien Fo ini. 

1. Rupang Maitreya

Awalnya, Cetya rumah saya hanya ada rupang Chi Kung Lao She. Namun sekitar tahun 2015-2016 kita mulai menambah rupang Maitreya dan Avalokitesvara. Adalah upaya keluarga untuk menambah semangat keluarga dalam bersembah-sujud kepada Para Buddha-Para Suci. Rupang Buddha Maitreya ini dibeli di Koperasi Guang En di Vihara Kuang Hua. Awalnya sebelum membeli rupang ini harganya Rp980.000. Tapi ketika membeli rupang ini, harga dolar naik sehingga harga rupang ini sekitar Rp1.200.000. Ketika itu mama saya ada kelas di Kuang Hua. Pulang dari sana, betapa kagetnya saya, tiba-tiba mama saya membawa kantung plastik transparan berisi rupang Maitreya. Saat itu di Vihara Kuang Sheng, penceramah Huang ada merekomendasi beberapa rupang Avalokitesvara yang ada di Kuang Sheng. Tapi karena belum berjodoh dengan penglihatan papa, papa belum mau memilih rupang Kwan Im yang ada di Vihara Kuang Sheng. 


2. Rupang Avalokitesvara

Setelah membeli rupang Maitreya selanjutnya adalah pergi ke Pasar Lama mencari rupang Dewi Kwan Im. Di sebuah toko peralatan sembahyang yang sederhana, yang saat ini sudah tidak ada lagi. Ayahku membeli patung Avalokitesvara ini dengan harga yang cukup tinggi dari harga yang ditawarkan pedagangnya. Pedagang patung ini mengeluarkan harga Rp850.000 untuk harga rupang Kwan Im. Tetapi entah bagaimana kesepakatan itu justru malah berhasil di angka Rp980. 0000. Dan setelah itu dilapisi Kim Cua dan dimasukan ke dalam kotak merah. Hal yang menarik adalah saat itu bertemu dengan seseorang yang mengatakan alangkah baiknya beli patung yang terbuat dari batu atau kayu supaya ada isinya. Tetapi mama dan papa bersepakat membeli yang keramik karena justru hanya ingin mempelajari semangat dari Avalokitesvara. Bukan ingin mencari yang aneh-aneh. Meski pun begitu aku merasa Rupang Avalokitesvara ini kurang tersenyum dan lebih cenderung murung. Namun beberapa kali ketika kami hendak bersembah-sujud, rupang Kwan Im ini kadang tersenyum. 


3. Rupang Chi Kung Lao She

Chi Kung Lao She adalah rupang pertama altar saya. Saat itu tahun 1998, berdasarkan voting keluarga hanya papa saya saja yang memilih untuk pasang rupang Kwan Im. Mama dan kakak perempuan ku lebih berjodoh dengan Chi Kung Lao She. Akhirnya berdasarkan kesepakatan bersama, keluarga saya lebih berjodoh dengan Chi Kung Lao She di tahun 1998. Dan saat itu hanya ada rupang Chi Kung Lao She di altar kami yang pertama. Kami saat itu membeli satu set altar seharga Rp2.000.000 saja. Saat itu Pandita Lim menyumbang altar untuk Cetya rumah saya. Hanya saja mama ku bersikeras mengembalikan uang Rp2.000.000 itu kepada Pandita Lim. Tapi pada akhirnya Pandita Lim menyumbangkan kembali uang itu ke Vihara Kuang Sheng. 


4. Rupang Sang Buddha

Di tahun 2020, saya pribadi membeli rupang Sang Buddha. Di tahun-tahun sebelum 2020, saat saya masih ada di Kuang Sheng Fo Thang, saya banyak membaca cerita dan komik tentang Sang Buddha. Di saat bersamaan, jodoh saya dengan umat beraliran Buddha Theravada juga sangat baik. Kebetulan saya dulu bagian mading di Kuang Sheng, mading bagi saya adalah cara pertama saya untuk menyempurnakan umat baru. Saat itu banyak wejangan Sang Buddha yang saya desain terinspirasi dari Dhammapada dan umat remaja yang beragama Buddha. Di sini saya ingin sekali umat-umat beragama Buddha agar semangat dalam membina diri. Berdasarkan semangat itulah, jodoh saya dengan Sang Buddha semakin dalam dari tahun ke tahun. 


5. Rupang Ksitigarbha

Ksitigarbha adalah rupang terakhir yang saya beli secara online di tahun 2024. Saat membeli rupang beliau, saya tidak menyadari bahwa dua hari kemudian merupakan hari kelahiran Sang Ksitigarbha. Dan juga ketika dikirim, sang penjual ada menyelipkan uang Rp50.000,- dililitkan di tongkat Ti Cang Ku Fo.Ti Cang Ku Fo adalah Buddha Raja Neraka. Mengapa saya membeli rupang beliau? Saya terinspirasi dari semangat mama yang selalu melantunkan nama Ti Cang Ku Fo selama perjalanan di mobil. Kata mamaku jika melantunkan nama Ti Cang Ku Fo segala halangan akan dipermudah dan juga aku sangat menyukai Ti Cang Ku Fo dari masih kecil. Di sisi lain, kampung halaman ayah dan ibuku yang masyarakat di sana lebih banyak bersembahyang Ti Cang Ku Fo.

Popular posts from this blog

Perasaan Sebagai Ksatria

Toko Jamu "Tjap Nyonya Kaya" Milik Ryu Kintaro

Janji Sehidup Semati (Memperbaiki Hubungan Suami Istri)

Mengenang Ko Aming

Mengenang Ko Andri (Li Ciang She/Penceramah Li)

Mari Kita Mendaur Ulang Kertas

Kembang Tahu Matahari

Mengenang Alexander Arvy

Nasi Campur Che It dan Cap Go