Mengenang Ko Aming


Selepas ko Andri pergi ke India, ada seseorang yang kembali mengisi hari Minggu ku di siang hari. Orang itu adalah ko Aming.

Ko Aming nama aslinya adalah Chen Jin Ming, selalu dipanggil ko Aming. Beliau berasal dari Bangka. Awalnya ibuku tidak terlalu menyukainya, karena dianggap agak sombong. Namun lambat laun dia perlahan berubah menjadi rendah hati setelah ditegur oleh ibuku dan menjadi sangat dekat dengan ibuku.

Beliau sangat menghormati ibuku dan sangat mendengarkan nasehat ibuku dalam segala hal. Bisa dibilang beliau juga dekat dengan keluarga ku, bahkan juga ada kabar sempat menyukai kakak perempuanku yang kedua. Tapi di sisi lain juga ada kabar bahwa ko Aming juga memiliki tunangan di kampung halamannya.

Beliau sangat tulus dalam menyempurnakan umat. Beliau menyempurnakan umat bisa sampai menginap di rumah umat tersebut dan membuat umat tersebut tulus datang ke Fo Tang. Beliau sangat suka membuat pempek khas Bangka yang saus cukonya dari cabai merah sehingga membuat kuahnya berwarna merah. Berbeda dengan cuko khas Palembang yang terbuat dari gula merah.

Ko Aming sangat baik kepadaku. Setiap hari Minggu, aku menunggu dijemput orang tua ku. Orang tua ku pergi ke cetya Kampung Melayu (karena orang tuaku sebagai pengurus cetya Kampung Melayu, sedangkan aku bersekolah minggu (Du Jing Ban) di Guang Sheng Fo Tang, sekaligus menitipkan diriku di Fo Tang) hingga sore hari. Saat itu, disela hari Minggu siang ada waktunya Fo Tang menjadi sangat sepi. Umat-umat Fo Tang telah kembali ke rumahnya masing-masing. Terkadang hanya tersisa diriku menunggu ayah dan ibuku. Melihat hal itu, ko Aming sengaja datang ke Fo Tang dan menemani ku hingga sore hari.

Yang kuingat beliau selalu meminjamkan ku handphone untuk bermain. Duduk di taman Fo Tang bersebelahan dengannya sepanjang hari. Ada satu hal yang paling kuingat adalah, saat aku hendak disuruh membacakan Mi Le Zhen Jing di depan pentas. Aku saat itu sangat tidak siap. Tetapi tanpa menanyakan diriku terlebih dahulu, ko Aming bisa mengetahui perasaan ku dan berkata kepada guru sekolah minggu ku bahwa aku tidak siap tampil sendirian membaca Mi Le Zhen Jing di depan pentas.

Ko Aming sangat terkenal karena bisa menyempurnakan umat dari yang tidak mau ke Fo Tang sampai akhirnya mau ke Fo Tang. Beliau sangat tulus dan juga sangat baik. Beliau suka bermain keyboard dan bernyanyi. Masa-masa saat ada ko Aming itu benar-benar indah. Beliau yang membuatku suka bernyanyi lagu suci (lagu Fo Tang). Lagu kesukaan beliau salah satunya Chai Hui Shou.

Suatu ketika, ayah Ko Aming sakit parah. Beliau tidak tega melihatnya membuatnya melakukan bakti terakhirnya yaitu memotong umur beliau di depan Para Buddha-Para Suci dan memberi sisa hidupnya untuk ayahnya (oleh karena itu jangan sembarangan berkata memotong umur untuk seseorang meskipun itu orang tua kita. Sebaiknya kita memohon supaya orang tua kita cepat sembuh. Karena jika kita pendek umur juga merupakan bentuk ketidak-baktian kita terhadap orang tua kita). Setelah hal itu, memang benar ayah ko Aming kembali sehat namun secara perlahan Kesehatan ko Aming mulai mengalami kemunduran. Kepalanya sering pusing dan sakit. Ia juga bilang ke ibuku bahwa seperti tumbuh sesuatu di otaknya.

Pada suatu hari, ko Aming menelepon ibuku. Seperti biasa, beliau sering menelepon ibuku untuk mengobrol. Kata ibuku, ko Aming saat itu berpamitan untuk mengurus SIM motornya terlebih dahulu. Namun ketika perjalanan pergi ke kantor polisi dengan motor. Beliau hendak menyebrang jalan. Ketika menyeberang jalan. beliau tertabrak busway.

Beliau dilarikan ke rumah sakit dan mengalami luka yang parah pada kepala beliau. Tragisnya adalah, saat di rumah sakit, luka beliau tidak langsung diurus. Beliau malah dibiarkan begitu saja (padahal saat itu beliau masih memiliki harapan untuk hidup). Orang pertama yang dihubungi oleh polisi adalah ko Ahin yang sangat dekat dengan beliau di Fo Tang.

Saat itu, ko Aming sempat dipindahkan ke rumah sakit yang lebih baik karena beliau harusnya segera dioperasi. Namun nyawa beliau tidak bisa diselamatkan karena luka pendarahan di dalam otaknya (luka dalam).

Keluargaku, terutama ibuku sangat sedih. Ibuku yang sangat dekat dengan ko Aming, menangis hingga pingsan di rumah duka. Diriku yang masih kecil tidak diperbolehkan ikut mengantar beliau terakhir kalinya. Aku di rumahku menangis sendirian dengan kesedihan yang sangat dalam. Beliau meninggal di tahun 2007, sehari sebelum peresmian Fo Tang pusat di pluit, Yayasan Satya Adi Dharma atau Guang Hua Fo Tang. Kematian beliau membawa duka yang amat dalam di kalangan remaja di seluruh Guang Ji Jakarta saat itu.

Jenazah beliau dibawa pulang ke Bangka dan dikuburkan di sana.

Popular posts from this blog

Kisah di Balik Cetya Rumah Saya

Perasaan Sebagai Ksatria

Toko Jamu "Tjap Nyonya Kaya" Milik Ryu Kintaro

Janji Sehidup Semati (Memperbaiki Hubungan Suami Istri)

Mengenang Ko Andri (Li Ciang She/Penceramah Li)

Mari Kita Mendaur Ulang Kertas

Kembang Tahu Matahari

Mengenang Alexander Arvy

Nasi Campur Che It dan Cap Go