Mengenang Ko Aming
Ko Aming
nama aslinya adalah Chen Jin Ming, selalu dipanggil ko Aming. Beliau berasal
dari Bangka. Awalnya ibuku tidak terlalu menyukainya, karena dianggap agak
sombong. Namun lambat laun dia perlahan berubah menjadi rendah hati setelah
ditegur oleh ibuku dan menjadi sangat dekat dengan ibuku.
Beliau sangat
menghormati ibuku dan sangat mendengarkan nasehat ibuku dalam segala hal. Bisa dibilang
beliau juga dekat dengan keluarga ku, bahkan juga ada kabar sempat menyukai
kakak perempuanku yang kedua. Tapi di sisi lain juga ada kabar bahwa ko Aming
juga memiliki tunangan di kampung halamannya.
Beliau sangat
tulus dalam menyempurnakan umat. Beliau menyempurnakan umat bisa sampai
menginap di rumah umat tersebut dan membuat umat tersebut tulus datang ke Fo
Tang. Beliau sangat suka membuat pempek khas Bangka yang saus cukonya dari cabai
merah sehingga membuat kuahnya berwarna merah. Berbeda dengan cuko khas Palembang
yang terbuat dari gula merah.
Ko Aming
sangat baik kepadaku. Setiap hari Minggu, aku menunggu dijemput orang tua ku. Orang
tua ku pergi ke cetya Kampung Melayu (karena orang tuaku sebagai pengurus cetya
Kampung Melayu, sedangkan aku bersekolah minggu (Du Jing Ban) di Guang Sheng Fo
Tang, sekaligus menitipkan diriku di Fo Tang) hingga sore hari. Saat itu, disela
hari Minggu siang ada waktunya Fo Tang menjadi sangat sepi. Umat-umat Fo Tang
telah kembali ke rumahnya masing-masing. Terkadang hanya tersisa diriku
menunggu ayah dan ibuku. Melihat hal itu, ko Aming sengaja datang ke Fo Tang
dan menemani ku hingga sore hari.
Yang kuingat
beliau selalu meminjamkan ku handphone untuk bermain. Duduk di taman Fo Tang bersebelahan
dengannya sepanjang hari. Ada satu hal yang paling kuingat adalah, saat aku
hendak disuruh membacakan Mi Le Zhen Jing di depan pentas. Aku saat itu sangat
tidak siap. Tetapi tanpa menanyakan diriku terlebih dahulu, ko Aming bisa
mengetahui perasaan ku dan berkata kepada guru sekolah minggu ku bahwa aku
tidak siap tampil sendirian membaca Mi Le Zhen Jing di depan pentas.
Ko Aming
sangat terkenal karena bisa menyempurnakan umat dari yang tidak mau ke Fo Tang
sampai akhirnya mau ke Fo Tang. Beliau sangat tulus dan juga sangat baik. Beliau
suka bermain keyboard dan bernyanyi. Masa-masa saat ada ko Aming itu
benar-benar indah. Beliau yang membuatku suka bernyanyi lagu suci (lagu Fo
Tang). Lagu kesukaan beliau salah satunya Chai Hui Shou.
Suatu ketika,
ayah Ko Aming sakit parah. Beliau tidak tega melihatnya membuatnya melakukan
bakti terakhirnya yaitu memotong umur beliau di depan Para Buddha-Para Suci dan
memberi sisa hidupnya untuk ayahnya (oleh karena itu jangan sembarangan berkata
memotong umur untuk seseorang meskipun itu orang tua kita. Sebaiknya kita
memohon supaya orang tua kita cepat sembuh. Karena jika kita pendek umur juga
merupakan bentuk ketidak-baktian kita terhadap orang tua kita). Setelah hal
itu, memang benar ayah ko Aming kembali sehat namun secara perlahan Kesehatan ko
Aming mulai mengalami kemunduran. Kepalanya sering pusing dan sakit. Ia juga
bilang ke ibuku bahwa seperti tumbuh sesuatu di otaknya.
Pada suatu
hari, ko Aming menelepon ibuku. Seperti biasa, beliau sering menelepon ibuku
untuk mengobrol. Kata ibuku, ko Aming saat itu berpamitan untuk mengurus SIM
motornya terlebih dahulu. Namun ketika perjalanan pergi ke kantor polisi dengan
motor. Beliau hendak menyebrang jalan. Ketika menyeberang jalan. beliau
tertabrak busway.
Beliau dilarikan
ke rumah sakit dan mengalami luka yang parah pada kepala beliau. Tragisnya adalah,
saat di rumah sakit, luka beliau tidak langsung diurus. Beliau malah dibiarkan
begitu saja (padahal saat itu beliau masih memiliki harapan untuk hidup). Orang
pertama yang dihubungi oleh polisi adalah ko Ahin yang sangat dekat dengan
beliau di Fo Tang.
Saat itu,
ko Aming sempat dipindahkan ke rumah sakit yang lebih baik karena beliau harusnya
segera dioperasi. Namun nyawa beliau tidak bisa diselamatkan karena luka pendarahan
di dalam otaknya (luka dalam).
Keluargaku,
terutama ibuku sangat sedih. Ibuku yang sangat dekat dengan ko Aming, menangis
hingga pingsan di rumah duka. Diriku yang masih kecil tidak diperbolehkan ikut
mengantar beliau terakhir kalinya. Aku di rumahku menangis sendirian dengan
kesedihan yang sangat dalam. Beliau meninggal di tahun 2007, sehari sebelum
peresmian Fo Tang pusat di pluit, Yayasan Satya Adi Dharma atau Guang Hua Fo
Tang. Kematian beliau membawa duka yang amat dalam di kalangan remaja di
seluruh Guang Ji Jakarta saat itu.
Jenazah beliau
dibawa pulang ke Bangka dan dikuburkan di sana.