25 Donat Gula
Hari ini aku sangat down, sangat sedih sekali. Akhirnya untuk menghibur diri, aku memutuskan untuk pergi membeli Es Teh Solo. Berbekal uang sepuluh ribu di saku celana jahitan ibuku, aku naik motor dan pergi ke depan.
Sesampainya di depan komplek, ternyata Es Teh Solo langganan ku sudah tutup. Yah, maklum sudah pukul lima sore. Sebentar lagi setengah enam, aku memutuskan untuk pergi ke depan perumahan Bukit Dago. Tempat Cici ku berlangganan Teh Solo di antara ruko-ruko tersebut. Tapi sebelum menjelajahi ruko-ruko tersebut, tiba-tiba perhatian ku tertuju pada seorang anak laki-laki yang sedang duduk di jalan sambil membawa sekeranjang sesuatu.
Sontak motorku terhenti dan menuju ke arah anak tersebut. "Dek, jual kue yah?", tanyaku.
"Iya jualan donat“,katanya.
"Harganya berapa?", tanya ku.
"Sepuluh ribu isi lima", jawabnya.
Akhirnya aku membelinya karena aku merasa kasihan. Tapi jujur juga sih, kue donatnya terlihat enak.
"Dek, nggak sekolah?" tanyaku.
"Sekolah, Kak", jawabnya.
"Baru pulang yah?", tanya ku lagi.
"Iya Kak", lalu ia memberi donatnya dan aku menukarnya dengan uang sepuluh ribu.
"Belajar yang rajin yah dek", kata ku kemudian pergi.
Sepanjang jalan pulang, aku hanya bisa diam, tertegun. Tidak menyangka, anak sekecil itu berani berjualan di jalanan. Sontak batin ku tersentil. Apa yang boleh ku keluhkan, sedangkan aku masihlah yang paling beruntung di dunia ini. Aku masih asyik tidur di kamar berpendingin ruangan. Sedangkan anak ini tidak mengeluh lelah masih berjualan kue di tengah hari panas dan baru pulang dari sekolah. Aku sungguh tidak bersyukur diriku.
Sesampainya di rumah, aku memakan satu hingga dua buah kue donat. Aku memakannya tanpa gula, untuk merenungi nestapa di hatiku. Aku benar-benar merasa donat ini sangat enak, yang membuatnya juga pasti dengan hati yang tulus. Kemudian meminum air putih, merenungi hidup ini sangatlah hambar. Rasa yang kusuka berwarna-warni pada akhirnya berpulang pada rasa yang hambar ini. Setiap gigitannya selalu terkenang wajah anak tersebut. Seandainya aku punya uang lebih banyak, pasti aku akan membeli donat tersebut lebih banyak dan memberinya kepada abang-abang kuli bangunan dan satpam komplek yang pasti mensyukuri camilan ini.
Terdengar bunyi kasak-kusuk dari kamar ibuku. Beliau bangun dari tidur siangnya, dan duduk di kursi kayu di ruang tamu. Aku pun bercerita tentang donat tersebut dan menawari beliau memakan donat ini. Ibuku pun iba dengan cerita ini, akhirnya memberi tiga puluh ribu dan aku mengeluarkan lagi sepuluh ribu dari dompetku untuk membeli donat adik kecil itu lagi.
Segera kunaiki lagi motor ku dan pergi ke tempat anak tadi berjualan. Sepanjang perjalanan aku memohon Tuhan, semoga anak itu masih ada. Dan benar saja, anak tersebut masih ada. Saat ia membuka kotak dagangannya, ternyata donatnya masih sangat banyak. Aku jadi tidak tega hanya bisa membeli empat puluh ribu lagi.
"Dek, beli empat puluh ribu yah. Di pisah jadi dua kantong, dua kantong yah", kataku.
Aku jadi bingung, donat sebanyak ini harus diberikan ke siapa? Karena saat ini sudah sangat sore, banyak orang yang sudah pulang ke rumah. Sementara itu, adik kecil itu membungkusnya dengan sangat gembira dan benar saja saat memberikan donat itu kepadaku senyuman adik itu sangat tulus dan manis. Aku sangat berharap semoga adik kecil ini tidak bernasib sial atau jatuh ke tangan orang yang salah.
Anak kecil yang hidupnya dekat dengan jalanan, yang ditakutkan jatuh ke pergaulan yang tidak baik. Apalagi di kota besar seperti Bogor. Dia benar-benar anak yang sangat baik dan polos. Membuatku jadi berikrar; "aku harus bekerja lebih keras lagi untuk menghasilkan uang lebih banyak lagi untuk menolong setiap anak yang membutuhkan".
Pada akhirnya mau tidak mau harus berpisah dengan anak baik tersebut. Sepanjang perjalanan pulang, aku menemukan kuli bangunan, aku memberi kepada mereka sepuluh donat dan sepuluh lagi untuk satpam komplek ku. Aku sangat tersentak oleh "teguran" Tuhan kepada ku. Yah memang selalu seperti itu, saat hati bersyukur ku berkurang, Tuhan selalu memperlihatkan lagi hal yang membawaku kembali pada Nurani dan itu terkadang membuatku sangat malu.
...